Minggu, 04 Maret 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (4)



EMAK (4)

            Langit begitu pekat diiringi gerimis halus ketika aku keluar rumah. Disampingku, Emak merapatkan jaketnya sambil mendekapkan tangannya di dada, memandang langit yang gelap.
  Hujan lagi…” desisnya halus terdengar kecewa.
  Enggak usah jualan ya Mak? dingin kali” kujawab desisan Emak.
             Enggak apa-apa, kau pikir Emak tak biasa dengan udara dingin?” Emak menjawab sambil menatapku tajam dalam remang, aku diam.
Kami menembus gerimis yang mulai merapat, kudekap Emak yang ringkih sepenuh jiwaku, manusia yang paling kucintai dalam hidupku.
            Sudah kukatakan kawan, aku tak pernah mengenal Ayahku. Emakku  adalah wanita Melayu yang biasa tinggal di rumah. Sebagai  wanita yang tidak punya pendidikan dan keterampilan, Emak limbung menghadapi ekonomi keluarga walaupun Emak hanya perlu menghidupi aku, anak tunggalnya. Aku masih ingat cerita Ompung Purba bagaimana Emak bisa terdampar di  pasar ini, menggendong aku ketika masih bayi merah, setiap pagi bercumbu dengan dingin dan embun.
            Kini, aku dapat melihat gambaran masa kecilku pada Bou Siahaan. Setiap hari bayinya dibawanya berjualan di pasar yang biasa kami sebut pajak. Tapi bou Siahaan tidak menggendong terus anaknya seperti Emakku. Ada tiang kecil kayu seperti jemuran di sampingnya, dia mengikat buaian disitu. Sambil melayani pembeli dia menggerakkan buaian itu, jika anaknya menangis dia akan menyusuinya. Tetapi tetap saja aku berbeda dari anak bou Siahaan, karena dia masih memiliki Ayah, walaupun Ayahnya pemabuk dan penjudi.
 Semenjak SMA pula setiap hari aku menemani Emak keluar rumah jam tiga pagi, memilih sayuran yang akan dijual pada pembawa sayur dari gunung dan duduk jualan pada lapak terbuka hingga jam tujuh pagi. Untuk selanjutnya aku punya aktifitas lain, kuliah, diskusi dan nongkrong di perpustakaan untuk mencari literature tulisan, istirahat pada pukul sembilan malam. Jika  banyak tulisan yang harus kugarap, aku hanya istirahat tiga jam. Mahasiswa kaya dan malas adalah ladang rezeki bagiku, karena mereka akan mencari aku untuk membuatkan skripsi atau sekedar makalah dan proposal.
Pernah kukatakan pada Emak agar dia tidak usah lagi berjualan, tapi Emak merepet-repet panjang sampai terbatuk-batuk, kasihan. Emak mengatakan dia akan berhenti jualan jika aku sudah sarjana, kekantor pakai dasi, punya keluarga dan ia akan menjaga anakku, cucunya. Setelah itu aku tak berani lagi menyinggung masalah keinginanku agar dia tak lagi berjualan, aku sadar sepenuhnya bahwa tiap butir nasi yang kumakan adalah keringat Emak, bahkan darah yang mengalir dalam tubuhku adalah keringat Emak. Pernah kutanyakan pada Emak mengapa ia tak mau menikah lagi, dia cuma berkata
  Tak ada yang Emak harapkan lagi dalam hidup ini selain kau, Tir. Kau belahan jiwa Emak, harapan masa depan Emak, Cuma kau yang berharga dalam hidup Emak nak… jangan kau tanyakan itu lagi ya?” Emak mengelus kepalaku dengan mata yang berkaca-kaca, kupeluk Emak dengan mata panas menahan tangis. Ah…Emak, ma’afkan aku jika menyinggung perasaanmu.
            Kata-kata Emak yang mengatakan aku adalah harapannya dapat kurasakan sampai sekarang. Setiap pagi di pasar Emak memesan susu dan nasi gurih komplit di warung untuk menu sarapanku, padahal Emak tak pernah minum susu. Sore hari dia memasakkan aku makanan apa saja yang dianggapnya aku suka, Emak memberiku makanan cukup gizi dan aku tumbuh menjadi laki-laki yang sehat dan proporsional. Dari aku SD, Emak sering memberiku buku cerita, walaupun itu cuma buku bekas yang sayang jika dijadikan kertas pembungkus. Aku pernah protes mengapa sampai sekarang aku harus minum susu, Emak berkata
  Biar kau sehat Petir, kau kurang tidur, emak tak mau kau sakit nak…”
  Tapi Emak enggak pernah minum susu, Emak sehat….” jawabku sekenanya. Emak tertawa, menepuk bahuku dengan sayang
  “ Emak tak perlu perpikir untuk belajar lagi nak…, Emak tak mau jadi sarjana, Emak tak kuliah. Kau tau? Kurang tidur itu membuat orang menjadi bodoh, kalau kau tak cukup gizi dan kurang tidur jadi tambah bodohlah kau, ngerti?” Emak bangkit sambil terkekeh-kekeh menunjukkan giginya yang masih rapi, sesungguhnya Emak adalah wanita yang sangat cantik. Aku masih terpaku diam, benarkah kata Emak? Terkadang Emak yang tak sekolah jauh lebih pintar daripada aku, kurang tidur dan kurang gizi membuat orang menjadi bodoh adalah ilmu baru bagiku. Siapa sangka, aku yang dulunya kurus kecil berubah menjadi pemuda tinggi kekar?
Betapa hebatnya Emak mempersiapkan aku, menjadi pemuda sehat dan meraih beasiswa sepanjang pendidikannya. Semakin aku kagum pada perempuan paruh baya yang bak pendekar ini, Emakku.
            Pagi ini, susu itu muncul lagi dihadapanku, aku mau muntah. Tau tidak kawan? semenjak SD susu itu tak pernah berubah, putih pekat tak berwarna. Bayangkan betapa muaknya aku harus minum susu ini saban pagi sepanjang hidupku. Mungkin besok warna kencingku pun seperti susu, harum lemak pula. Emak menyodorkannya gelas berisi air putih pekat itu penuh sayang, ah.. aku tak ingin mengecewakannya. Kuambil gelas yang disodorkan Emak
  Aku minum di tempat Minun ya Mak?” Minun adalah penjaga warung langganan emak beli sarapan pagi, emak mengangguk dan aku segera melesat seperti peluru lepas. Hatiku tak sabar ingin mewarnai air putih pekat itu. Di warung, Minun sudah tersenyum menunjukkan gigi taringnya yang agak mencuat.
  Tambah kopi kan?” dia sudah tau apa yang kumau, aku cuma mengangguk. Setelah itu, dia habis menggodaku dan mengumpamakan bahwa aku adalah pemuda yang masih disusui Emakku, kurang ajar betul. Ku biarkan saja dia menghinaku, kunikmati kopi susu itu, kuseruput sepenuh jiwa.
  Kok lama Tir?” tegur Emak ketika aku kembali dari curi-curi minum susu dicampur kopi di warung Minun.
  Iya Mak.. diajak ngobrol sama Minun…” aku mengambil tempat disisi Emak.
  Pasti susunya dicampur kopi, iyakan?” Emak menudingku dengan wajah menggoda, aku terhenyak sadar bahwa seminggu ini aku sudah membohonginya.
  Dasar anak muda…” Emak mendesis, tapi tak marah.
  Aku muak Mak dua puluh tahun minum susu terus… enggak apa-apa ya? “ aku memelas, Emak mengangguk tersenyum ikhlas. Kadang aku berpikir, lucu juga sikapku yang tak mau berterus terang pada Emak perihal rasa muakku pada susu itu. Duhai.. kupeluk Emak, kucium Emak, Emak tercintaku.
             “ Cik… kawinkan saja si Petir itu! Sudah tua masih lagi melendot sama Emaknya..!!” Bou Siahaan yang menjual sayur di depan Emak berteriak membuat orang-orang di pasar melihat kami. Orang-orang di Pasar memanggil Emak dengan sebutan Ocik Laili. Mendengar itu si Fadly yang menjual ayam potong menimpali
             Iya Cik.. kasi bini sama dia Cik…” pasar tambah riuh
  Tenang kelen… udah ada calonnya, biar dia sarjana dulu, bekerja, baru dikasinya aku menantu.” jawaban Emak membuatku terhenyak, kutatap Emak penuh tanya. Siapa yang dimaksud Emak perempuan yang akan menjadi menantunya?
             Itu… si Zahwa..” Emak berbisik ditelingaku, aku melotot kaget. Betapa Emak menggantungkan cita-citanya di bulan, kasihan. Ingin aku menjelaskan semua pada Emak, tapi aku tak bisa. Kubiarkan saja Emak bermain dalam alam pikirannya sendiri.
            Kawan, Zahwa adalah wanita lain selain Emak. Wanita yang juga sangat menghormati Emak, wanita yang kusayangi dalam sisi yang berbeda.
Kawan, nanti aku akan menceritakan padamu tentang perempuan itu, Zahwa namanya.

* Semakin seru ya? Tunggu cerita berikutnya :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar