EMAK (4)
Langit begitu pekat diiringi gerimis
halus ketika aku keluar rumah. Disampingku, Emak merapatkan jaketnya sambil
mendekapkan tangannya di dada, memandang langit yang gelap.
“ Hujan lagi…” desisnya halus terdengar kecewa.
“ Enggak usah jualan ya Mak? dingin kali” kujawab desisan Emak.
“ Enggak
apa-apa, kau pikir Emak tak biasa dengan udara dingin?” Emak menjawab sambil
menatapku tajam dalam remang, aku diam.
Kami menembus
gerimis yang mulai merapat, kudekap Emak yang ringkih sepenuh jiwaku, manusia
yang paling kucintai dalam hidupku.
Sudah kukatakan kawan, aku tak
pernah mengenal Ayahku. Emakku adalah
wanita Melayu yang biasa tinggal di rumah. Sebagai wanita yang tidak punya pendidikan dan
keterampilan, Emak limbung menghadapi ekonomi keluarga walaupun Emak hanya
perlu menghidupi aku, anak tunggalnya. Aku masih ingat cerita Ompung Purba
bagaimana Emak bisa terdampar di pasar
ini, menggendong aku ketika masih bayi merah, setiap pagi bercumbu dengan
dingin dan embun.
Kini, aku dapat melihat gambaran
masa kecilku pada Bou Siahaan. Setiap
hari bayinya dibawanya berjualan di pasar yang biasa kami sebut pajak. Tapi bou Siahaan tidak
menggendong terus anaknya seperti Emakku. Ada tiang kecil kayu seperti jemuran
di sampingnya, dia mengikat buaian disitu. Sambil melayani pembeli dia
menggerakkan buaian itu, jika anaknya menangis dia akan menyusuinya. Tetapi
tetap saja aku berbeda dari anak bou
Siahaan, karena dia masih memiliki Ayah, walaupun Ayahnya pemabuk dan penjudi.
Semenjak SMA pula setiap hari aku menemani
Emak keluar rumah jam tiga pagi, memilih sayuran yang akan dijual pada pembawa
sayur dari gunung dan duduk jualan pada lapak terbuka hingga jam tujuh pagi.
Untuk selanjutnya aku punya aktifitas lain, kuliah, diskusi dan nongkrong di
perpustakaan untuk mencari literature tulisan, istirahat pada pukul sembilan
malam. Jika banyak tulisan yang harus
kugarap, aku hanya istirahat tiga jam. Mahasiswa kaya dan malas adalah ladang
rezeki bagiku, karena mereka akan mencari aku untuk membuatkan skripsi atau
sekedar makalah dan proposal.
Pernah
kukatakan pada Emak agar dia tidak usah lagi berjualan, tapi Emak merepet-repet
panjang sampai terbatuk-batuk, kasihan. Emak mengatakan dia akan berhenti
jualan jika aku sudah sarjana, kekantor pakai dasi, punya keluarga dan ia akan
menjaga anakku, cucunya. Setelah itu aku tak berani lagi menyinggung masalah
keinginanku agar dia tak lagi berjualan, aku sadar sepenuhnya bahwa tiap butir
nasi yang kumakan adalah keringat Emak, bahkan darah yang mengalir dalam
tubuhku adalah keringat Emak. Pernah kutanyakan pada Emak mengapa ia tak mau
menikah lagi, dia cuma berkata
“ Tak ada yang Emak harapkan lagi dalam hidup ini selain kau, Tir. Kau
belahan jiwa Emak, harapan masa depan Emak, Cuma kau yang berharga dalam hidup Emak
nak… jangan kau tanyakan itu lagi ya?” Emak mengelus kepalaku dengan mata yang
berkaca-kaca, kupeluk Emak dengan mata panas menahan tangis. Ah…Emak, ma’afkan
aku jika menyinggung perasaanmu.
Kata-kata Emak yang mengatakan aku
adalah harapannya dapat kurasakan sampai sekarang. Setiap pagi di pasar Emak memesan
susu dan nasi gurih komplit di warung untuk menu sarapanku, padahal Emak tak
pernah minum susu. Sore hari dia memasakkan aku makanan apa saja yang
dianggapnya aku suka, Emak memberiku makanan cukup gizi dan aku tumbuh menjadi
laki-laki yang sehat dan proporsional. Dari aku SD, Emak sering memberiku buku
cerita, walaupun itu cuma buku bekas yang sayang jika dijadikan kertas
pembungkus. Aku pernah protes mengapa sampai sekarang aku harus minum susu, Emak
berkata
“ Biar kau sehat Petir, kau kurang tidur, emak tak mau kau sakit nak…”
“ Tapi Emak enggak pernah minum susu, Emak sehat….” jawabku sekenanya.
Emak tertawa, menepuk bahuku dengan sayang
“ Emak tak perlu perpikir untuk belajar lagi
nak…, Emak tak mau jadi sarjana, Emak tak kuliah. Kau tau? Kurang tidur itu
membuat orang menjadi bodoh, kalau kau tak cukup gizi dan kurang tidur jadi tambah
bodohlah kau, ngerti?” Emak bangkit sambil terkekeh-kekeh menunjukkan giginya
yang masih rapi, sesungguhnya Emak adalah wanita yang sangat cantik. Aku masih
terpaku diam, benarkah kata Emak? Terkadang Emak yang tak sekolah jauh lebih
pintar daripada aku, kurang tidur dan kurang gizi membuat orang menjadi bodoh
adalah ilmu baru bagiku. Siapa sangka, aku yang dulunya kurus kecil berubah
menjadi pemuda tinggi kekar?
Betapa hebatnya Emak
mempersiapkan aku, menjadi pemuda sehat dan meraih beasiswa sepanjang
pendidikannya. Semakin aku kagum pada perempuan paruh baya yang bak pendekar
ini, Emakku.
Pagi ini, susu itu muncul lagi
dihadapanku, aku mau muntah. Tau tidak kawan? semenjak SD susu itu tak pernah
berubah, putih pekat tak berwarna. Bayangkan betapa muaknya aku harus minum
susu ini saban pagi sepanjang hidupku. Mungkin besok warna kencingku pun
seperti susu, harum lemak pula. Emak menyodorkannya gelas berisi air putih
pekat itu penuh sayang, ah.. aku tak ingin mengecewakannya. Kuambil gelas yang
disodorkan Emak
“ Aku minum di tempat Minun ya Mak?” Minun adalah penjaga warung
langganan emak beli sarapan pagi, emak mengangguk dan aku segera melesat
seperti peluru lepas. Hatiku tak sabar ingin mewarnai air putih pekat itu. Di
warung, Minun sudah tersenyum menunjukkan gigi taringnya yang agak mencuat.
“ Tambah kopi kan?” dia sudah tau apa yang kumau, aku cuma mengangguk.
Setelah itu, dia habis menggodaku dan mengumpamakan bahwa aku adalah pemuda
yang masih disusui Emakku, kurang ajar betul. Ku biarkan saja dia menghinaku,
kunikmati kopi susu itu, kuseruput sepenuh jiwa.
“ Kok lama Tir?” tegur Emak ketika aku kembali dari curi-curi minum
susu dicampur kopi di warung Minun.
“ Iya Mak.. diajak ngobrol sama Minun…” aku mengambil tempat disisi Emak.
“ Pasti susunya dicampur kopi, iyakan?” Emak menudingku dengan wajah
menggoda, aku terhenyak sadar bahwa seminggu ini aku sudah membohonginya.
“ Dasar anak muda…” Emak mendesis, tapi tak marah.
“ Aku muak Mak dua puluh tahun minum susu terus… enggak apa-apa ya? “
aku memelas, Emak mengangguk tersenyum ikhlas. Kadang aku berpikir, lucu juga
sikapku yang tak mau berterus terang pada Emak perihal rasa muakku pada susu
itu. Duhai.. kupeluk Emak, kucium Emak, Emak tercintaku.
“ Cik… kawinkan saja si Petir itu! Sudah tua
masih lagi melendot sama Emaknya..!!” Bou Siahaan yang menjual sayur di depan Emak
berteriak membuat orang-orang di pasar melihat kami. Orang-orang di Pasar
memanggil Emak dengan sebutan Ocik
Laili. Mendengar itu si Fadly yang menjual ayam potong menimpali
“ Iya
Cik.. kasi bini sama dia Cik…” pasar tambah riuh
“ Tenang kelen… udah ada calonnya,
biar dia sarjana dulu, bekerja, baru dikasinya aku menantu.” jawaban Emak membuatku
terhenyak, kutatap Emak penuh tanya. Siapa yang dimaksud Emak perempuan yang
akan menjadi menantunya?
“ Itu…
si Zahwa..” Emak berbisik ditelingaku, aku melotot kaget. Betapa Emak
menggantungkan cita-citanya di bulan, kasihan. Ingin aku menjelaskan semua pada
Emak, tapi aku tak bisa. Kubiarkan saja Emak bermain dalam alam pikirannya
sendiri.
Kawan, Zahwa adalah wanita lain
selain Emak. Wanita yang juga sangat menghormati Emak, wanita yang kusayangi
dalam sisi yang berbeda.
Kawan, nanti aku
akan menceritakan padamu tentang perempuan itu, Zahwa namanya.
* Semakin seru ya? Tunggu cerita berikutnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar