Autum di Canberra. Mata dimanjakan
warna coklat dan orange, sepi hijau. Daun-daun berwarna kuning keemasan,
berserak di sepanjang jalan dan taman. Pohon-pohon seakan berdiri mati, karena
daun yang telah lepas dari dahannya. Batang-batang itu semakin indah dibawah
pantulan matahari sore, siluet seni yang dalam. Angin terasa dingin menusuk
tulang. Sore autumn, indah. Tinggal di Negara empat musim, sangat variatif dan
menuntut daya tahan tubuh yang kuat. Negara tropis amatlah nyaman, tubuh tidak
selalu terkejut menerima perubahan cuaca. Aku menyukai musim semi dan autum,
sementara aku sangat membenci musim dingin. Bila musim dingin datang, jika
keluar rumah gigiku terus menerus gemeretuk, bibir pecah-pecah dan terkadang
darah segar keluar dari hidung. Putih salju sangat menyilaukan mata, sering aku
sakit kepala. Syukurlah kacamata hitam banyak membantu. Agaknya, mataku mulai
kehilangan daya lihat maksimal, sering berair dan melihat tidak focus.
Pekerjaanku di Canberra semakin baik.
Mr. Lamek mempercayakan aku sebagai manager divisi pengadaan barang. Hal ini
membuat aku semakin banyak mengenal orang-orang dari manca Negara, terutama
yang berhubungan dengan computer. Emak selalu menelepon dan meluapkan rindunya
sambil sesekali mengomel. Mengatakan aku sudah lupa padanya, ia tak perlu uang
tapi hanya ingin aku pulang. Ya, aku sudah lima tahun tidak menginjak
Indonesia. Melewati lima Ramadhan dan lima lebaran di Negara asing. Aku ingin
sekali pulang, tapi entahlah. Terkadang kepalaku selalu dipenuhi angka-angka.
Yang aku pikirkan hanya menabung sebanyak-banyaknya. Aku sudah meminta Emak
untuk mendaftar berangkat haji. Tapi emak ingin berangkat bersamaku, jadi ia
masih menungguku. Aku ingin pulang, tapi aku masih menunggu waktu yang tepat.
Aku ingin memeluk emak, tapi masih tertunda.
Aku
masih mengatur strategi, untuk bisa menjadi bos bagi diri sendiri. Atau, aku
juga harus mampu membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain yang membutuhkan.
Seperti yang pernah dikatakan Audya, yang selalu memotivasi diriku. Perempuan
yang mengagumkan, yang sebulan lalu menemuiku dengan geraian jilbab yang indah.
Rambutnya yang coklat sudah tertutup, begitu juga lengan dan betisnya. Audya,
menampakkan aura sebagai seorang muslimah yang cantik dan cerdas. Diam-diam,
aku menyukainya. Aku pernah mengutarakannya, Audya tersenyum menampakkan
sederet giginya yang putih, pipinya merona merah.
“Apakah
saya pantas untuk orang shaleh seperti kamu?,” Audya menunduk, memainkan jari
tangannya dengan gelisah. Aku terkekeh geli, dia menganggapku orang shaleh?
Ah..
“Mengapa
kamu memandang saya sebagai orang shaleh?,” aku memancingnya, untuk
mengeluarkan pikirannya tentang aku.
“Simple answer, karena kamu rajin sholat,
puasa sunat, tidak berhubungan dengan perempuan, I think that enough.” Aku berdehem, terbatuk-batuk kecil sebagai
cara menghentikan gemuruh yang berdentum di dada layaknya badai tornado.
“Kalau
begitu, kamu mau menjadi istri saya?. Seorang pemuda miskin, yang tidak punya
harta?,” aku nyaris tidak dapat mendengar suaraku sendiri, pelan sekali.
“Harta
bukan segalanya, kepribadian itulah harta sesungguhnya. Mama selalu
mengingatkan kami, bahwa harta itu bukan sumber kebahagiaan, hanya pendukung
saja. Aku tidak pernah takut miskin, karena Papa tidak akan pernah membiarkannya,”
Audya berkata mantap, tegas.
“Apakah
Oom Lamek tidak keberatan jika aku menjadi suamimu?,”
“Berapa
kali harus aku katakan, bahwa papa sangat mengagumimu, ha?,” Audya melotot lucu.
Aku tersenyum mengangguk-angguk, hidungku kembang- kempis merasa tersanjung.
Aku,
sudah mengatur rencana. Emak sudah aku telepon dan sangat senang, suaranya
nyaring seperti orang bernyanyi.
“Kirim
fotonya, ya?,” itulah kata-kata emak melalui telepon. Aku minta foto Audya yang
memakai jilbab dan segera mengirimnya ke Medan. Emak menelepon lagi.
“Ya
Allah…cantik sekali, Tir. Pasti nanti anakmu cantik seperti Ibunya. Cepat
pulang, segera nikahi Audya, ya?,” suara Emak mendayu-dayu senang, seperti anak
yang dapat permen.
“Sabar,
Mak. Insya Allah aku pulang secepatnya, dua tahun lagi,”
“Tidak
baik lama-lama, Tir. Segera nikahi Audya, bila perlu bulan depan,” aku tak lagi
menjawab instruksi emak. Takut terlalu panjang, juga tak ingin membantah Emak.
Emak benar, akan tetapi aku juga tidak salah. Aku harus mengatur rencana secara
matang. Audya harus menyelesaikan studynya terlebih dahulu. Untuk kemudian
mengajak Audya menikah dan kami akan pulang ke tanah air. Semua, sudah kutulis
dalam agenda rencana, perfect!.
***
Sore yang indah di musim gugur. Awan
berarak kelabu dan dingin. Siang tadi aku sholat Jum’at di Canberra Mosque di
empire circuit. Pagi tadi, Audya minta
aku menemaninya ke Lake Burley Griffin. Audya minta agar kami sampai sebelum
jam empat sore untuk menyaksikan Water jet di tengah danau. Water jet di
luncurkan pada pukul 11 siang dan pukul 4 sore. Jika ada matahari, air seberat
enam ton yang ditembakkan ke udara itu akan menghadirkan pelangi. Tapi, itu
biasanya muncul pada musim panas. Hari ini tidak ada matahari, tapi Audya ingin
melihat water jet yang fantastis itu. Sambil memanjakan mata memandang danau
buatan yang biru membentang.
Lake Burley Griffin terletak di
jantung kota Canberra. Danau yang dirancang ahli lanskap dari Amerika, Walter
Burley Griffin memiliki luas 35 kilometer. Di bangun pada tahun 1963 dan menjadi
kebanggaan masyarakat Canberra. Pada musim panas, danau ini menjadi pusat
olahraga ski air. Di sekitar danau, ada jalanan tempat bersepeda untuk
mengelilingi danau. Lake Burley Griffin adalah tempat favorit turis yang
berkunjung ke Canberra. Rencananya, Audya yang akan menjemputku ke kantor di
kawasan Pert Avenue.
Di kantor, aku masih memeriksa
laporan Barney tentang jumlah software yang masuk pada bulan Maret ini.
“Assalamu’alaikum…,” kepala Audya
yang ditutup jilbab merah maroon muncul dari balik pintu. Aku menjawab salam
dan menyuruhnya masuk.
“Kita langsung ke Burley Griffin?,”
Audya masih memegang handle pintu.
“Mengapa buru-buru?,”
“Aku takut ketinggalan water jet,”
“Aduuh, seperti baru pertama lihat
aja,”
“Entahlah, aku ingin cepat ke sana.
Ayolah…nanti terlalu dingin. Sholat ashar kita nanti di Canberra Mosque, aku
kepingin lihat anak-anak bermain di halaman mesjid.”
Aku
memperhatikan aura wajah Audya yang aneh, cahaya mata yang tidak seperti
biasanya. Apakah ia sakit?. Ah, tidak ada sesuatu yang pantas dipikirkan secara
negative. Water jet tetap menarik sampai kapanpun, lake Burley Griffin juga
layak menjadi pemandangan yang selalu ingin disaksikan. Begitu pula anak-anak
yang bermain di halaman mesjid Canberra. Halaman mesjid Canberra dirancang
seperti taman bermain. Yang cukup menarik lagi adalah, anak-anak dari berbagai
Negara ada di sana. Lanskap kecil dunia muslim tampak di halaman mesjid. Ada
anak-anak berkulit putih dari eropa, ada yang berkulit kuning dari asia atau
lebih banyak lagi dari Afghanistan dan Turki. Bukankah itu sangat menarik?.
“You drive,” Audya menyerahkan kunci
mobil. Seperti biasa, aku tidak menolak. Bukankah etika timur seorang pria
menjadi supir bagi seorang wanita?. Di manapun, aku masih lebih menghormati
budayaku sendiri. Budaya timur yang santun.
Prius putih membelah Pert Avenue di kawasan Yarralumla yang sedang
lengang. Menuju ke utara, menyeberangi Commonwealth bridge yang membelah danau
Burley Griffin sepanjang 1 mil. Audya membuka jendela mobil, katanya ingin
menikmati angin. Di tangannya sekotak keripik kentang siap untuk disantap. Di
dasbor mobil masih ada lagi sekotak coklat kacang, dan di jok belakang masih
ada satu krat soda. Di setiap perjalanan, Audya tidak pernah lupa dengan
makanan ringan. Dia akan terus mengunyah makanan sambil berbicara, sesekali
tertawa. Jilbab maroon yang dikenakannya berkibar ditiup angin. Kecepatan mobil
yang kukemudikan berkisar antara 70 km perjam. Angin berdesir-desir masuk
melalui jendela mobil, suasana yang benar-benar santai. Audya bercerita tentang
studinya yang hampir selesai. Tentang teman-temannya yang dapat menerima
perubahan penampilannya. Tentang harapan dan cita-citanya. Aku, cukup menjadi
pendengar yang baik, dengan mata yang sesekali menyipit.
Memasuki Commonwealth bridge, aku
mengurangi kecepatan. Jembatan panjang ini juga Nampak lengang. Di tengah
jembatan, aku menambah kecepatan laju mobil. Sama sekali aku tidak
memperhatikan, di depan kami sebuah container juga melaju dengan kecepatan
tinggi. Mataku menyipit, ada cahaya menyilaukan yang memancar dari arah depan.
Aku mengurangi kecepatan.
“Watchout!!..,”
Audya menjerit panik.
Tapi terlambat, sayap kiri container menyentuh kap depan mobil, Audya menjerit
menyebut asma Allah. Prius putih yang aku kendarai membentur dinding jembatan
dengan cukup keras, terseret dan mengeluarkan percikan api dari gesekan dinding
jembatan. Mobil berhenti setelah terseret puluhan meter.
Aku
masih sadar, terikat pada sabuk pengaman. Kakiku tidak merasakan apa-apa, kepalaku
terasa hangat, mungkin ada rembesan darah, bibirku terus mengucapkan asma
Allah. Aku memperhatikan Audya yang juga terikat sabuk pengaman, wajahnya penuh
darah. Jilbabnya basah, Audya masih bergerak, tapi seperti orang kejang,
menggeliat-geliat.
“Audy…Audy..,” tak ada jawaban.
“Audy…bangun, Audy..,” masih tak ada
jawaban. Tiba-tiba dadaku sesak, seperti dihimpit ratusan ton beban berat.
Lamat-lamat semua hitam, suara-suara riuh terdengar dari luar mobil, sangat
jauh.
***
Tragedi di Commonwealth bridge. Kaki
kiriku patah, tepat pada tungkainya. Kepalaku hanya sedikit luka, tak ada luka
lain, wajahku bersih. Tapi, Audya tidak. Dia mengalami luka fisik yang parah, kepalanya
mengalami benturan berat dan wajahnya terkena serpihan kaca mobil. Dan, Allah
telah menjemputnya. Audya tidak dapat tertolong, kami semua pasrah. Berserah
diri sepenuhnya pada Allah.
Mr. Lamek dan Tante Diana mendapat
cobaan yang berat, aku juga. Rasa bersalah dan penyesalan menyusup dalam setiap
aliran darahku. Bayangan wajah Audya tak pernah lepas dari pikiranku. Mengapa
ini bisa terjadi?, mengapa aku mengantuk? mengapa tidak Audya saja yang
menyetir? Mengapa tidak ke mesjid Canberra saja dulu, sehingga tidak berpapasan
dengan container itu? Mengapa? Semua kata-kata mengapa mengisi kepalaku selama
24 jam. Allah adalah tempat aku berserah. Tapi aku juga manusia yang lemah,
berharap semua berjalan sesuai rencanaku sebagai manusia yang ingin bahagia.
Tapi kini semua sudah terenggut, Audya telah pergi selamanya. Semua rencana
kandas sudah, tak berbekas apa-apa selain luka yang menganga.
Dua bulan aku harus mengistirahatkan
kaki kiriku, pasca operasi. Bone tissue
35 dm dimasukkah ke sela-sela tungkai di dua tempat. Aku harus menggunakan
tongkat dan selama dua bulan tidak oleh memijakkan kaki ke tanah. Hampir setiap
hari Emak menelepon, menanyakan kondisiku. Setiap kali menelepon Emak tersedu,
mengharap dirinya ada di dekatku. Menemaniku, menghiburku. Aku merindukannya,
aku juga ingin ada di dekatnya, mencurahkan semua kedukaan, kehancuran perasaan
dan harapan.
Dua
kali dalam seminggu aku harus mengikuti terapi di Canberra hospital. Barley
mengantarku dengan setia. Lelaki jangkung itu banyak menghiburku. Pada hari
minggu ia membawa anak dan istrinya ke rumah. Barley memiliki seorang putri
kecil berusia 4 tahun yang dipanggil Emily. Emily berambut pirang dan bibirnya
merah seperti strawberry matang. Emily lucu dan cerdas, dia memanggilku Oom
Pet. Panggilan aneh yang lucu, Pet? Ya…Pet!. Dan, ketika keluarga Barley
pulang. Aku kembali dicekam perasaan kehilangan yang dalam. Harapan ke depan
semakin terasa suram. Menggambarkan siluet-siluet yang panjang, luas dan tak
memiliki tepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar