Hari beranjak siang. Pusat
perbelanjaan semakin ramai pengunjung. Perutku mulai bernyanyi. Biasanya, aku
lebih memilih makan di luar gedung pusat perbelanjaan. Bagiku, tiga bulan
sekembalinya dari Canberra, belumlah cukup untuk memuaskan lidah terhadap
masakan local. Di luar gedung, banyak bertebaran rumah makan dengan masakan
Padang yang pedas menggoda, sementara di dalam gedung lebih banyak restoran
cepat saji dan makanan berbau Eropa dan terasa kurang menggigit. Jika pun ada food
court, tetap saja masakan warung terasa lebih nikmat.
Kuperhatikan tiga orang karyawanku
yang sibuk. Mereka semua adalah mahasiswa yang bergantian secara sift
membantuku menjaga toko. Aku lebih memilih mereka sebagai karyawanku, karena
mereka adalah anak-anak muda ulet yang butuh biaya kuliah karena keterbatasan
ekonomi orangtua. Sama seperti ketika aku kuliah dulu, harus bekerja keras.
“Kalian, sudah makan?”
“Sisi bawa bekal, Pak. Tadi Reza
yang keluar, beli makan siang,” Sisi menjelaskan, sambil tangannya sibuk
mengutak-atik laptop.
“Saya keluar dulu, ya?” Aku mulai
ingin mengayun langkah menuju pintu kaca depan. Tapi Reza muncul dengan pakaian
setengah basah dan mencegahku keluar.
“Bapak mau kemana?”
“Mau makan siang, Za. Kenapa?”
“Di luar hujan deras, Pak. Sebaiknya
Bapak makan di food court aja,” wajah Reza Nampak serius, dia sibuk
menepis-nepis baju kemejanya yang basah. Aku teringat pada payung, tapi benda
itu ada di mobil. Apa aku harus ke tempat parkir dulu? ah..repot sekali. Benar
juga kata Reza, ada baiknya aku sekali-sekali makan di food court.
“Oke, saya ke food court aja.
Eh..makannya bergantian ya?” kutepuk
bahu Reza, anak muda itu tersenyum mengangguk. Bagiku, waktu makan mereka
adalah special. Bagi mereka yang sedang makan, jangan sambil bekerja atau
melayani pembeli. Maka dari itu aku minta mereka makan siang bergantian.
Aku mulai menyisir lantai yang
banyak menyajikan makanan cepat saji. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik.
Rindu makanan Indonesia belumlah usai. Di food court juga aku belum menemukan
makanan yang menggugah selera. Aku berjalan pelan-pelan, memasukkan kedua
tangan ke dalam saku celana, menikmati apa yang aku lihat, mencari tempat di
mana aku akan menemukan sesuatu yang menggugah selera makan siangku.
Tiba di depan sebuah restoran, aku
memandang sebuah leaflet yang berdiri di depan pintu masuk. Ada menu yang aku
rindukan, kari kambing. Agaknya nikmat sekali, dan aku teringat pada Zeyni yang
sangat gemar menu ini. Dengan langkah pasti aku melangkah masuk, harum kuah
kari terasa sudah sampai ke ubun-ubun. Air liur pun terasa sulit dibendung, aku
menelan ludah. Tidak banyak pengunjung restoran ini, mungkin orang lebih
memilih makanan cepat saji dari pada makanan tradisional.
Aku mencari tempat di sudut ruangan,
yang disediakan untuk dua orang. Ada sofa merah yang empuk, agaknya enak juga
duduk sambil beristirahat, pikirku. Suara saxophone Kenny G meraung-raung
syahdu. Lampu spotlight menari-nari romantic, seluruh ruangan restoran di tata
rapi, dengan sudut-sudut yang hijau dihiasi tanaman sintetis yang bersih. Aku
tersenyum teringat Indescheelatte Restaurant tempat aku bekerja di Rotterdam.
Nuansanya hampir sama, hanya beda tata letak dan warna cat dinding.
Indescheelatte Restaurant memilih dinding dengan wall paper berwarna maroon,
sementara restaurant ini berhiaskan dinding dengan polesan cat berwarna hijau
segar.
Pelayan datang dan aku segera
memesan makanan yang sangat aku inginkan, kari kambing, nasi putih dan jus
belimbing. Tiba-tiba mataku tertumpu pada sosok perempuan di sudut ruangan
sebelah timur. Duduk sendirian, wajah menunduk dan ia Nampak sedang menikmati
makan siangnya. Dadaku berdebar cepat, aku menaikkan kacamata untuk meyakinkan
pandanganku. Aku sangat mengenal perempuan berbaju ungu itu. Dia perempuan yang
pernah hadir dalam hidupku, dalam hari-hariku di Rotterdam, dalam mimpi dan
harapan. Aku ingin bangkit menghampirinya, tapi kaki ini terasa sangat kaku,
sulit digerakkan. Sementara dadaku terus bergemuruh sulit diajak kompromi, aku
sibuk menguasai diri.
Hampir sepuluh menit aku layak orang
bodoh, melongo hingga lupa jika pesananku sudah datang. Ku usap-usap wajahku,
sekali lagi mencoba bangkit dan menghampiri perempuan itu.
“Assalamu’alaikum, Zahwa?” suaraku
pelan, menyapanya yang masih menekur. Alhamdulillah, aku berhasil menguasai
diri. Kini, Zahwa yang terlongo, berhenti menyuap makanan. Matanya membulat,
ekspresi wajahnya luar biasa terkejut.
“Wa’alaikumsalam, Petir??” Zahwa
meletakkan sendok yang urung masuk
mulutnya.
“Ya Allah, apa kabar? Di mana selama
ini?” Zahwa memberi isyarat mempersilahkan aku duduk di kursi yang ada di
depannya.
“Ceritanya panjang, kamu bagaimana?”
“Sehat, Alhamdulillah,” jawab Zahwa
pendek.
“Kok sendirian? Suamimu mana?”
“Biasa, makan siang masing-masing. Kebetulan
aku tadi mencari keperluan Sasha, jadi sekalian makan siang,” aku
mengangguk-angguk sok mengerti. Suasana tiba-tiba hening, hanya suara alunan
saxophone Kenny G yang masih meraung-raung. Aku mendadak bisu, apa tema
pembicaraan berikutnya, ya? Pikirku mereka-reka dalam kebingungan.
“Kamu tidak makan?” suara Zahwa
memecah kebisuan.
“Oya, ya. Makananku di sana,
sebentar aku ambil dulu,”
“Enggak usah, kamu duduk aja. Biar waitress yang ambil,” Zahwa memanggil
seorang pelayan perempuan dan meminta agar makananku dipindahkan ke meja yang
sedang kami tempati.
“Kelihatannya, kamu sangat sehat,”
Zahwa tersenyum, tapi entah mengapa aku melihat mata itu begitu kosong.
“Alhamdulillah..,”
“Kamu juga Nampak lebih putih. Kata
Zeyni, kamu bekerja di Canberra,” Zahwa mencecarku. Aku tercekat, berarti dia
tahu banyak tentang aku selama ini melalui Zeyni. Artinya, masih ada kontak
diantara mereka, benarkah?
Tiba-tiba telepon seluler Zahwa
berdering. Dia Nampak berbicara dengan serius, sepertinya ada sesuatu yang
sangat penting.
“Ma’af, Tir. Aku harus kembali ke
Rumah Sakit, ada pasien emergency yang harus menjalani operasi sekarang juga.
Sekali lagi ma’af…,” Zahwa berdiri, merapikan baju dan isi tasnya. Aku duduk
dengan linglung, tak tahu harus berbuat apa-apa. Zahwa berjalan keluar restoran
aku masih duduk bengong. Tiba-tiba terasa ada yang mendorongku untuk
mengejarnya, Zahwa sudah menuju lift.
“Waaa….tunggu!” aku berteriak tak
terkendali. Beberapa orang pengunjung pusat perbelanjaan memandangku aneh, aku
tak perduli, who care? Zahwa menoleh
kebelakang, aku memberi isyarat sedang mengangkat telepon. Zahwa mengerti dan
menghentikan langkahnya, membuka tas dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Aku mempercepat langkah, mengejarnya.
“Ini, kartu namaku. Ma’af ya? Aku
buru-buru, Assalamu’alaikum,” Zahwa
menyodorkan sebuah kartu berwarna biru dan langsung berbalik arah dan setengah berlari menuju
pintu lift yang terbuka. Kujawab salam hanya berupa desisan halus, kecewa. Aku
kembali ke restoran dengan langkah lunglai. Selera makan mendadak hilang entah
kemana, kuah kari yang menguap panas terasa seperti rebusan tak bergaram. Aku
masih duduk tercenung di sofa merah, menunduk meredakan sedih. Mengapa aku harus
bertemu lagi dengan Zahwa? dengan cara seperti ini pula. Aku benar-benar
tersiksa, aku juga kembali teringat Audia.
“Bungkus, Mas. Makanannya saya bawa
pulang aja,” aku melongsorkan tubuh yang
lunglai, pelayan hanya mengangguk. Suara saxophone Kenny G bukan lagi terasa
merdu, tapi persis seperti suara harimau lapar menjerit-jerit tanpa irama.
Siang ini, aku sama sekali tak
menyentuh makanan apapun. Entah mengapa pula, perutku berhenti berteriak seakan
maklum suasana hatiku. Makanan yang aku pesan di Restoran tadi aku serahkan
pada Sisi yang tersenyum-senyum senang. Selebihnya, aku duduk tanpa daya di
mejaku dan keluar lagi. Seperti remaja putus cinta, galau. Kuperhatikan kartu
nama Zahwa. Dia sudah berhasil meraih
cita-citanya menjadi dokter specialis kandungan. Tinggal di sebuah kompleks
perumahan elit di kota Medan. Zahwa secara fisik masih sama seperti Zahwa yang
dulu, tidak banyak perubahan. Hanya saja Zahwa Nampak lebih dewasa, tenang dan
matang. Mungkin karena ia juga adalah seorang istri pejabat penting di kota
ini.
Aku memilih melaksanakan Zuhur di
mesjid pusat perbelanjaan. Duduk merenung, menekur wajah hingga 80 derajat,
berzikir, menenangkan diri. Berharap Allah akan memberiku makna sebuah
pertemuan yang tak terduga. Bertemu dengan Zahwa, perempuan yang sudah merubah
jalan hidupku. Perempuan yang sudah aku lupakan dan aku sudah menemukan Audia.
Tapi kini, Audia juga sudah pergi. Aku berharap, Allah memberi hikmah di balik
semua ini, ada rahasia di balik rahasia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar