MUSIM DINGIN
PERTAMA (16)
Langit buram, angin bersuit-suit
ditelinga. Daun yang menggantung pada pohon eik
bergoyang liar. Kurniawan benar, cuaca di Rotterdam agaknya sama dengan belahan
dunia yang lain, kacau balau. Di negeri ini, prakiraan cuaca wajib di ikuti
dari Televisi atau didengar melalui siaran radio Netherlands setiap hari.
Terkadang, dikatakan panas tapi bisa tiba-tiba hujan atau malah turun salju.
Teman-teman selalu siaga, sarung tangan, topi kupluk dan kacamata hitam selalu
ada di dalam tas ransel. Sementara aku sama sekali belum terbiasa siaga, karena
aku datang di musim semi dengan pancaran matahari yang hangat.
Atas saran Hafeed dan teman yang
lain, aku harus menyiapkan beberapa coat,
menambah jacket, sarung tangan, topi dan kacamata hitam dan kaos kaki tentu
saja. Bersama Kurniawan kami bersepeda ke pasar Blaak, kami memilih pasar Blaak
karena sisini banyak dijual barang second
hand dengan kondisi baik dan harga terjangkau. Belanda adalah Negara makmur,
ada hari yang dinamakan “Hari Ratu”, karena memperingati ulang tahun Ratu
Beatrix. Pada hari itu orang akan menjual barang yang dianggap tidak perlu lagi
dengan harga murah dengan kondisi yang sangat baik. Aku dan Kurniawan akan
memburu barang murah itu.
Pasar Blaak ada setiap Selasa dan
Sabtu. Kalau di kampung-kampung Indonesia
itu disebut “Pekan”. Tapi
tentu saja pasar Blaak berbeda dengan
Pekan di kampung Indonesia. Pekan di Indonesia kumuh, berbau tak
sedap, sama seperti di pasar tempat aku dan Emak berjualan sayuran. Pasar Blaak bersih, rapi dan koopman yang tertib.
Barang yang kami cari cukup banyak
mode dan rupanya. Ada coat merah bata, hijau, atau coat yang berasesoris atau
berbulu halus. Aku yang tak mengerti kebingungan, untunglah Kurniawan membantu
untuk mencari apa yang kubutuhkan. Kami berdiskusi panjang hanya untuk membeli
coat dan perlengkapan musim dingin lainnya, si pedagang bingung mendengar
bahasa kami.
“Where
are you come from?” tanyanya dengan bahasa Inggris logat Belanda
“From
Indonesia, do you know Indonesia?” Kurnia menjawab dengan ramah.
“No”
si koopman menggeleng.
“Do
you know Kartinistraat?”
“Yes,
I know”
“Kartini
from Indonesia, Hindia Belanda. Same place with our country” si koopman mengangguk-angguk tersenyum. Dia
melayani kami dengan antusias dan ramah, kalau belanja di pajak Sambu mungkin kami sudah dimaki-maki. Lebih lama memilih dan
menawar, sulit mengambil keputusan, tentu membuat pedagang jengkel. Koopman jatuh cinta pada kami karena
kami satu Negara dengan R.A Kartini. Belanda masih memakai nama-nama pejuang
Indonesia sebagai nama jalan. Jangan heran, jika di Utrech tempat suami Lenny
berasal ada jalan Kartinistraat, di
daerah pemukiman elit. Agaknya, Indonesia kakak adik dengan Belanda. Atau mungkin
saja mereka mengingat Indonesia yang sudah mereka ambil hasil alamnya, sebagai
tanda penghargaan, mengingat jasa, mungkin.
Hari itu, aku dan Kurniawan menjadi
orang yang paling bahagia. Aku bisa mendapatkan perlengkapan musim dingin yang
terdiri dari dua potong coat, jacket, sweater, sarung tangan dan topi kupluk
seharga 10 euro. Si koopman yang baik
menghadiahi aku kacamata hitam ski, dengan karet lentur yang nyaman dipakai.
Harga yang kami bayar cukup murah, mengingat harga daun ubi tumbuk tooping keju
di Indeschhelatte restoran saja seharga 12 euro, belum makanan penutup dan
minum. Menurut Kurniawan, harga normal satu potong coat premium biasanya di
bandrol dengan harga 30 sampai 40 euro. Belum lagi jika coat keluaran merek
ternama, jauh lebih mahal. Aku berpikir, aku tak akan pernah bisa beli baju
disini. Bayangkan saja, 40 euro itu sama dengan limaratus ribu!
Salju turun, menurut siaran radio
Netherlands cuaca mencapai -1 derajat celcius pada siang hari. Cuaca pada malam
hari bisa mencapai -7 derajat celcius. Aku seperti berada di dalam kulkas,
gigiku gemeretuk. Musim dingin ternyata sangat menyiksa, tak seperti kukira.
Sebelumnya aku berpikir salju itu menyenangkan, putih terhampar, membuat boneka
dan bermain bola salju. Tapi kini aku malah menggigil tak berdaya. Semua jacket
kupakai, aku malah sulit bergerak karena sudah seperti robot. Hafeed memberiku
penutup telinga, seperti headsheet yang bisa menutup telinga agar tak membeku
karena tubuh yang belum terbiasa. Syukurlah, pemanas ruangan dapat membantu.
Seperti biasanya, pagi kami
berangkat ke Indescheelatte restoran dengan mengendarai sepeda. Melewati
jalanan bersalju yang sudah di keruk oleh mobil pengeruk salju, pemandangan
yang Nampak di depan mata adalah gundukan es ditepi jalan. Aku agak kesulitan
mengayuh sepeda, kakiku terasa kaku. Memasuki restoran, aku merasa cairan
hangat keluar dari hidungku. Tarjo Nampak kaget dan cepat-cepat mencari tissue.
“Kamu mimisan Mas…” aku meraba
hidungku, cairan darah segar mengalir. Aku mencoba tenang, aku pernah mengalami
hal ini sebelumnya. Seingatku, aku pernah mengalami hal yang sama ketika SD dan
SMP. Ketika aku main bola sambil mandi hujan, pulang kerumah, aku mimisan dan
hidungku di sumbat Emak pakai daun sirih. Tapi disini mana ada daun sirih? aku
bingung.
“Berbaring, cepat!” Kurniawan
memberi instruksi, aku berbaring di kursi panjang yang ada di dapur. Jacket dan
segala macam rupa yang kupakai dilepas, karena pemanas ruangan sudah bekerja.
Aku terharu melihat teman-teman yang perhatian, Chandra menyiapkan coklat panas
dan Kurniawan ikut menggulung daun mint
dan menyumbat hidungku. Aku tak tahu apakah manfaat daun mint sama dengan daun
sirih. Tapi sepertinya darah itu berhenti.
“Tubuhmu masih belum bisa
beradaptasi, ini biasa terjadi.” Hafeed berjalan mundar-mandir, sepertinya dia
gelisah.
“Kenapa Feed? kenapa kamu gelisah?
Apa aku mengalamai sesuatu yang fatal?” aku mulai cemas. Chandra, Kurniawan dan
teman yang lain menggeleng-gelengkan kepala.
“Enggak Mas, Mas Hafeed trauma lihat
darah” Tarjo memberi informasi penting itu. Aku maklum, karena sudah tahu latar
belakang kehidupan Hafeed.
Teman-teman
minta aku terus berbaring sampai beberapa lama untuk menghentikan pendarahan,
sama seperti yang disarankan Emak ketika aku mimisan dulu. Aku sebenarnya tak
enak hati melihat teman-temanku sibuk, tapi apa daya? lima belas menit
berbaring sudah cukup, aku bangkit dan segera bergabung dalam kesibukan. Menu
utama musim dingin adalah Stamppot, kentang yang dihancurkan dan dicampur dengan aneka sayuran, dimakan
dengan daging sapi asap. Untuk makanan Indonesia kami menyiapkan aneka sup dan
wedang jahe. Meskipun musim dingin orang belanda suka minum wine, Indeschelatte
tidak menyiapkannya. Aku kagum pada Mr. Lamek pemilik restoran yang belum
pernah bertatap muka denganku. Ia sanggup memegang prinsip halal ditengah kaum
mayoritas non muslim, tanpa takut restoran ini menjadi sepi. Yang aku saksikan
malah sebaliknya, Indeschelatte restoran selalu ramai. Menurut Hafeed, musim
dingin ini Mr. Lamek akan menghabiskan waktu di Rotterdam. Aku ingin sekali
berjumpa.
Menjelang makan siang, aku, Tarjo, Chandra dan
Kurnia melayani tamu. Zamzami ada urusan di kampusnya sehingga dia off. Zamzami
keponakan Mr. Lamek yang kuliah bisnis di Erasmus University, Zamzami sepupu
Maulidya istri Zeiny. Tampang Zamzami lebih Indonesia, tak mewarisi darah
neneknya yang Belanda. Kalian tahu? dari semua karyawan di Indeshelatte
restoran, tiga diantara kami adalah sarjana. Fadly si kepala dapur alias bos
koki sarjana Tadris IAIN Arraniry Banda Aceh. Kurniawan sarjana Matematika
Unpad, nasib kami sama, tak diterima negeri tercinta. Tapi rasa kami kini sama,
bahagia bisa bekerja di benua Eropa dengan nilai mata uang yang tinggi. Visi
dan misi nyaris sama, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan buka bisnis di
Indonesia. Kami sudah merasakan susahnya kerja dengan mengandalkan Ijazah walau
dengan IPK mendekati cumlaude
sekalipun. Cita-cita kami, kamilah yang akan menciptakan lapangan kerja itu.
Ternyata tak mudah untuk menjalani hidup di Negara
orang, jika kita tak memiliki karakter kepribadian yang kuat. Seorang muslim
hidup dalam kaum minoritas itu berat, hanya kita yang tahu kapan masuk waktu
sholat. Tak ada suara azan berkumandang seperti di Indonesia ketika masuk jam
sholat. Tak ada masjid yang siap sedia menampung jama’ah untuk sholat lima
waktu. Pakaian perempuan yang terbuka pada musim panas, membeli makanan tak
bisa sembarangan karena ragu akan kehalalannya.
Setiap Jum’at, hanya aku, Hafeed, Fadly dan
Kurniawan yang ke masjid ISR melaksanakan sholat Jum’at. Sesekali kami ke
Mesjid Assalaam di Polderlaen 84, tapi di masjid Assalaam, khatib mengunakan
bahasa Belanda. Menurut Hafeed, itu baik bagiku agar lebih cepat menguasai
bahasa Belanda. Tapi tetap saja aku lebih suka sholat di Mesjid ISR, karena
banyak menjumpai kawan se Negara dan Khatib khutbah menggunakan bahasa
Indonesia. Lenny lain lagi, dia agaknya sudah beradabtasi dengan budaya
Belanda. Aku sering kikuk melihatnya mencium suaminya di depan kami,
berangkulan atau menunjukkan kemesraan yang berlebihan. Tapi aku mencoba
berpikir positif, itukan suaminya, halal dan sah saja. Cuma budaya yang berbeda,
bagaimana cara menunjukkan rasa cinta
dan sayang. Jika Indonesia malu-malu, maka Eropa malu-maluin.
Pintu
depan restoran berbunyi gemerincing, seorang lelaki bertopi masuk dengan coat
yang terkena serpihan salju. Sejenak dia menepiskan salju yang menempel,
membuka topi dan coat yang kemudian disampirkan ke tangan. Lenny bangkit
dari balik meja kasirnya menghampiri, mengambil coat lelaki itu kemudian
menyalami, persis seperti seorang anak yang menyalami orangtuanya. Tarjo yang
sedang melayani tamu mengangguk hormat, pria itu membalas dengan tersenyum
hangat. Pria itu menatapku sesaat, aku bingung tak mengerti, seingatku dia
lelaki asing yang belum pernah menginjak Indeschelatte. Tapi, mengapa semua
Nampak hormat padanya?
“Itu
Mr. Lamek, Mas…” Tarjo berbisik ditelingaku, ketika aku melewatinya ingin
mengambil pesanan tamu. Aku tiba-tiba kaku, malu karena telah mengabaikannya,
padahal aku ingin sekali berjumpa dengannya, ini waktu yang sudah kutunggu.
Tanpa pikir panjang, aku berbalik haluan, tapi Mr. lamek sudah ke dapur. Bagaimana
aku harus mengatakannya pada kalian? Mr. lamek yang kubayangkan jauh dari apa
yang aku lihat sekarang. Pria itu mungkin berumur sekitar lima puluhan, tidak
tinggi dan tubuhnya standart Indonesia. Kulitnya tidak putih, hanya karena
lebih lama tinggal di Negara empat musim, kulit itu Nampak pucat. Mata dan rambutnya
coklat, hidung tidak terlalu mancung. Secara fisik, dia biasa saja. Aku
ingin sekali mengucapkan terimakasih.
Setelah
restoran lengang, barulah kesempatan itu ada. Mr. Lamek duduk diantara kami, mengelilingi
satu meja besar yang biasa digunakan mahasiswa dan pelajar Indonesia kumpul
pada saat weekend. Mr. Lamek
berdialog secara kekeluargaan, bagaimana keadaan kami, bagaimana keadaan
restoran dan hal-hal remeh lainya. Aku terpaku atas sikap kepemimpinannya, kami
semua di panggil “Nak” dengan tutur bahasa yang halus dan lembut untuk ukuran
seorang lelaki. Satu lagi yang aku baru tahu, teman-teman semua memanggilnya
“Oom”, bukan Mister.
“Petir,
bagaimana Rotterdam dan Indeschelatte, suka disini?” aku tergeragap mendengar
pertanyaan Mr.Lamek, dia tau namaku seakan sudah akrab sekali.
“Suka
Oom, Alhamdulillah…”
“Tapi
awalnya karena patah hati kan? Bukan karena kepingin kesini…” aku kena skak,
teman-teman saling berpandangan. Mukaku merah padam.
“Enggak
juga Oom, udah dilupakan kok…” aku menunduk, jengkel pada Zeiny. Pasti dia
sudah menceritakan macam-macam tentangku pada Mr. Lamek, kalau tidak darimana
orang asing ini bisa tahu?
“Ya…
lupakanlah. Nanti kau pulang jadi orang sukses, semua perempuan akan mendekatimu,”
Mr. lamek menghiburku, aku tersenyum mengangguk walau semua tahu senyum itu
hambar.
“Oya…
bagaimana dengan musim dingin? Suka salju?”
“Apa
yang suka Oom, saya udah mau beku”
“Tadi
Petir mimisan Oom…” Tarjo menimpali, Mr. Lamek hanya tersenyum. Senyum hangat
seorang Ayah, aku terharu.
“Itu
salam perkenalan, enggak apa-apa. Oya….Hafeed, saya disini agak lama. Musim
semi akan datang Audia akan pulang ke Rotterdam. Kita semua akan liburan ke Kaukenhof,”
“ Restoran Oom?”
“ Restoran Oom?”
“Udah,
tutup aja. Sehari kita bersenang-senang. Hafeed, kamu bisa atur waktunya ya?.
Cari waktu yang tepat saat parade bunga. Audia dan Fikar akan ada disini
bersama kita.”
Restoran
yang lengang dari tamu kini ramai oleh tepuk tangan kami, semua senang
membayangkan musim semi yang akan datang kami akan ke Kaukenhof. Kaukenhof
adalah taman bunga yang terletak di Lisse, satu setengah jam perjalanan dari
Rotterdam. Lenny sering menceritakan keindahan taman ini, warna-warni tulip
yang terhampar sampai keindahan Bunga sakura ada di taman ini. Mr. Lamek
berbaik hati mentraktir kami jalan-jalan, sekaligus ingin menyatukan keluarga
yang terpisah jauh. Audia di Adelaide sementara Fikar di Banda Aceh, Mr. Lamek
dan istrinya sering menghabiskan waktu di Negara yang berbeda.
Perjalanan
pulang kembali ke flat lebih menyiksa, udara semakin turun drastis, sudah
mencapai minus enam derajat celcius. Chandra, Rizal dan Kurniawan lebih memilih
tinggal di restoran. Aku, Hafeed dan teman lain memilih pulang. Aku ingin
menulis agenda harianku yang tak boleh tertinggal seharipun, karena aku bisa
lupa. Agenda harian, itulah kini yang bisa kutulis setiap hari. Untuk membaca,
aku tak punya buku baru. Aku hanya bisa meminjam buku Zamzami yang berisikan
teori ilmu bisnis. Setiap membaca bukunya, mataku berair. Agaknya, mataku sudah
mulai bermasalah, atau memang aku tak paham isi bukunya.
Ku
kayuh sepeda semampunya, menembus hamparan putih yang menyilaukan. Kukenakan
kacamata ski pemberian Koopmaan di pasar Blaak kemarin. Angin
berdesing-desing melewati telinga, aku benci dingin, tapi mencoba untuk
menikmatinya.
“Chan…kamu
kan bawa kamera, photo aku ya?” tiba-tiba pikiran itu melintas begitu saja.
“Dimana?”
“Di
sini aja” kami turun dari sepeda, aku memilih tempat dengan gundukan salju yang
tinggi, dibelakangnya ada bangunan gagah berwarna coklat, Eropa sekali. Chandra
siaga dengan kameranya, aku berpose. Yang lain ikut sesi foto, kami
terkekeh-kekeh, pose pun tak terarah dengan baik, tapi hasilnya sangat natural.
Dingin seakan mencair karena senang, aku akan mengirimkan photo ini untuk Emak.
Akan kuberi judul “MUSIM DINGIN PERTAMA DI ROTTERDAM.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar