DAUN UBI TUMBUK TOPPING KEJU (15)
Pulang sholat Jum’at di mesjid ISR,
Fadly nampak uring-uringan. Beberapa jenis bumbu masakan Indonesia habis, besok
adalah hari sabtu, jadwal masakan
Indonesia disiapkan untuk pelanggan. Dia mulai memberi instruksi pada Tarjo
agar segera berbelanja ke Wah Nam Hong
di west Kruiskade. Disana bisa
didapat aneka bahan makanan Asia, termasuk bumbu dan sayuran khas yang biasa
digunakan di Indonesia. Tarjo mengajakku untuk menemaninya, sekaligus ingin
mengenalkanku pada kota Rotterdam, Tarjo
mengajakku naik Tram.
Di Wah Nam Hong aku seperti berada di Supermarket Indonesia. Aneka
sayuran berjejer dalam rak-rak yang rapi. Ada kangkung, kacang panjang, timun,
pete dan daun singkong. Aku tersenyum dalam hati memperhatikan pete yang
berjejer dikemas rapi di atas rak sayuran. Di Medan sewaktu aku berjualan
sayuran, aku menarik minat pembeli dengan menyebutkan pete sebagai “tablet
selera makan”. Ternyata, di Belanda orang juga keranjingan pete. Mataku kembali
ke tumpukan daun singkong, aku mulai berpikir, bagaimana jika aku buat daun ubi
tumbuk seperti yang dibuat Emak? Kutarik dua ikat kecil daun singkong,
memasukkan ke dalam trolli belanja.
“Daun singkong enggak masuk daftar
belanja, Mas” Tarjo mulai protes kecil.
“Enggak apa-apa, aku punya resep
nenek moyang yang mau kucoba jual disini.” Sekenanya saja kujawab. Padahal aku
hanya ingin sekali makan daun ubi tumbuk, bukan malah menjualnya atau
memasukkannya sebagai menu di restoran. Tarjo tersenyum mengangguk, pemuda asal
Pasuruan ini masih sangat muda, sembilan belas tahun. Wajahnya innocent, postur tubuhnya kecil, dia
karyawan paling muda di restoran Indeschelatte.
Tak heran, kami semua dipanggilnya Mas, termasuk Hafeed mendapat panggilan
terhormat “Mas Hafeed”. Aku mulai kebingungan mencari cempokak dan kecombrang.
Tarjo mengajakku ke bagian bumbu, ada terasi, kunyit, jahe, lengkuas. Akhirnya aku
menemukan kecombrang tapi tidak dengan cempokak. Trolli belanja sudah penuh,
semua daftar belanja sudah dibeli, mudah mendapatkan makanan Indonesia disini.
Bahkan ada yang sudah dimasukkan ke dalam besek yang siap dimakan setelah
dipanaskan dengan microwafe. Tapi
menurut Tarjo, rasanya tidak begitu enak karena sudah diadaptasi dengan lidah
Belanda.
Kami sampai restoran menjelang sore,
Tarjo mengajakku berkeliling dengan tram.
Sampai di restoran aku kembali bingung, bagaimana caranya aku menumbuk daun
ubi? Lumpang tak ada, yang ada hanya cobek batu yang biasa digunakan untuk
membuat sambal terasi dalam jumlah kecil.
“Pake food processor aja Mas” Tarjo memberi solusi, di perjalanan aku
sudah menceritakan tentang daun ubi tumbuk padanya, dia tertarik. Aku masih awam
dengan food processor.
“Gimana caranya?”
“Sesuaikan aja kasar halusnya, Mas”
Tarjo memberikan usul, teman-teman yang ada di dapur celingak-celinguk tak
mengerti topik pembicaraan kami.
“Kenapa nih?” Fadly bertanya
penasaran.
“Nih Mas, Mas Petir mau buat daun
singkong tumbuk resep khas daerahnya. Cuma masih bingung prosesnya gimana.
Karena biasa di Indo pake lumpang kayu, disinikan enggak ada.” Tarjo
menjelaskan, Fadly mengangguk seakan
mengerti. Hafeed tidak tahu pembicaraan kami, ia sedang duduk di depan,
dia sering melayani tamu bercakap-cakap akrab dengan suasana kekeluargaan. Itu,
jika ada tamu yang ingin tahu Indonesia. Hafeed dapat menjelaskan dengan baik
dan rinci karena sudah beberapa kali ia ke Indonesia mendampingi Mr. Lamek.
Bisnis Mr. Lamek di Indonesia adalah perkebunan kepala sawit yang ada di
Meulaboh, Aceh barat.
“Kamu ingat resepnya Tir?”
“Ingat”
“Oke, besok kita coba. Sekarang
tugas kalian di depan, menjelang makan malam, sebentar lagi banyak tamu”
Malam ini, aku melayani tamu dengan
gembira. Daun ubi tumbuk idaman ada dalam bayangan. Besok, aku akan
menikmatinya bersama ikan asin dan nasi hangat. Aku akan segera menelepon Emak, mengabarkan bahwa
aku bisa membuat daun ubi tumbuk di Belanda. Aku tersenyum bahagia, Lenny ikut
nyeloteh dari balik meja kasirnya.
“Udah ketemu cewek Belanda ya?
Senyum-senyum sendiri, cepet juga ya ketemunya. Emang sih.. katanya cowok Medan
playboy” suara cempreng Lenny
menyerang gendang telingaku. Aku melotot kearahnya, dia tersenyum senang seakan
berhasil menggoda. Benarkah lelaki Medan play
boy seperti kata Lenny? Aku diam saja tak menanggapi teorinya yang tak
terbukti, Lenny semakin penasaran. Dasar, memangnya aku suka pada perempuan
Belanda seperti dirinya yang berjodoh dengan lelaki Belanda? Tidak, aku akan
mendapatkan jodohku di Indonesia. Aku berkata dalam hati, kata hati sendiri
yang menyayat perih. Siapa yang akan mampu mengisi ruang kosong dalam hatiku
setelah ruang itu ditinggal Zahwa? Entahlah.
***
Pagi sekali, aku sudah di dapur restoran
dengan teman yang lain. Mereka ikut penasaran, bagaimana rupa daun singkong
tumbuk andalan nenek moyangku? Rizal membantu melumatkan daun singkong,
kecombrang, cabe merah, bawang merah dan bawang putih dengan food processor. Hasilnya lumayan,
persis seperti hasil tumbukan lumpang Emak, tapi agak kering. Kemudian, aku masukkan dalam panci bersama cocoa milk dengan kekentalan sedang. Sesudah
masak, semua mencicipi dan mengangguk setuju jika daun singkong tumbuk itu
lezat. Tapi aku merasa tak sempurna, rasanya tak seenak daun ubi tumbuk buatan
Emak.
Daun ubi tumbuk tandas oleh kami
semua, termasuk Lenny dan Hafeed ikut
makan. Hafeed berdecap-decap menyesuaikan rasa yang asing, sejurus
kemudian mengangguk-angguk, setuju jika daun singkong tumbuk itu lezat. Sorenya, aku dan Tarjo meluncur lagi ke Wah Nam Hong mencari daun singkong.
Saran Fadly, beli dalam jumlah banyak. Dia yakin sekali menu ini akan ramai
dibicarakan langganan kami yang berasal dari negeri sendiri. Ternyata perkiraan
Fadly benar. Hari Minggu pertama dalam
hidupku di Rotterdam aku menyaksikan seorang Mahasiswa botak lompat-lompat
gembira sambil menjerit “Daun ubii tumbuuukkkk..... I miss youuuu.” Kawan, ternyata pemuda itu bermarga Pane, asal
Tapanuli Selatan. Ketika
tahu bahwa itu adalah resepku, aku dipeluknya kuat-kuat, matanya berkaca-kaca.
“Terimakasih kawan, aku merasa
sedang berada di kampung sendiri” dia menepuk-nepuk punggungku. Aku merasa
begitu berharga, bisa menghadirkan suasana kampung si Pane di Belanda yang
jauh. Setelah itu, aku dan Pane bersahabat. Bertukar cerita tentang Medan,
menyimak bahasa Indonesianya dengan dialek daerah Mandailing yang kental.
Kebanyakan Mahasiswa dan pelajar di Rotterdam berasal dari Jakarta, Semarang
dan Bandung. Hanya Pane yang berasal dari Sumatera Utara, dari Ibukota Tapanuli
Selatan, Padang Sidempuan.
Langit Rotterdam pekat sore ini. Aku
dan Kurniawan mendapat giliran pulang duluan, Kami bebas tugas malam. Kami
mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang, karena jarak flat dan restoran yang
tak jauh.
“Sepertinya akan ada salju”
terdengar suara Kurniawan dibawa angin yang tiba-tiba terasa dingin.
“Apa sudah tiba musim dingin?”
“Sekarang salju sering muncul
tiba-tiba, tak bisa di prediksi”
“Global
warming?”
“Ya!!”
Kami mengayuh sepeda semakin cepat,
angin berdesing-desing melewati telinga. Aku sedikit pias, aku belum
mempersiapkan diri untuk menghadapi musim dingin. Bajuku hanya sweater dan
jacket. Aku berharap musim dingin bergeser saja, jangan sekarang. Perkiraan
Kurniawan benar, salju turun tipis saja, tak membekas di jalan atau genteng
flat, mencair. Pagi kembali cerah, rumput masih hijau, cuaca kacau tidak saja
terjadi di Indonesia, benua Eropa juga mengalami hal yang sama. Pemanasan
global semakin parah. Aku tidur dengan lelap, terbawa mimpi lezatnya daun ubi
tumbuk buatan Emak. Menurut Hafeed, cuaca masih bersahabat, tak perlu
menghidupkan pemanas atau perapian.
Kawan, Fadly si kepala dapur
memasukkan menu daun singkong tumbuk itu kedalam daftar menu yang dapat di
pesan tamu. Lebih dahsyat lagi, dia berinovasi menyesuaikan dengan selera
Belanda. Aku tak begitu yakin, Fadly memberi nama “ Cassava Verlat Fijn”.
Percobaan pertama, kami akan menghidangkan gratis pada Frederick, langganan
restoran yang setiap hari muncul untuk menikmati makan siangnya. Frederick
memang memiliki selera makan yang aneh menurutku, dia suka makan nasi rawon
pakai kentang, stup wortel dan keju. Penutup makannya dia sering pesan pisang
bakar diberi saos gula jawa, kadang-kadang pisang goreng bertabur keju parut.
Setiap sabtu dan minggu, Frederick makan nasi soto atau nasi rendang,
teman-temannya sering mentertawakan wajahnya yang merah padam seperti terbakar.
Frederick senang saja, dia mengatakan Indeschelatte adalah restoran terseksi di
dunia!
Siang tiba, Frederick muncul dengan
kemeja biru muda. Aku heran melihat pemuda yang tak pernah bosan makan di
Indeschelatte ini. Frederick duduk manis, karena aku tak bisa berbahasa
Belanda, Tarjo melayaninya dan aku melayani tamu yang lain. Sebentar mereka
bercakap-cakap, Frederick mengangguk-angguk, mungkin dia ingin mencicipi resep
baru kami. Tarjo meluncur ke dapur, Fadly sudah siap dengan inovasi barunya
yang langsung disambar Tarjo dan dihidangkan di meja Frederick.
Kawan, aku terpana. Piring putih itu
diisi dengan potongan roti, berlumur daun singkong tumbuk, bertabur keju
cheddar parut. Di pinggir piring di isi dengan kentang goreng mentega, stup
wortel dan sepotong bistik sapi. Sebelum mencoba, Frederick masih mengamati isi
piring itu, Tarjo setia menunggu. Perlahan Frederick memasukkan sendok
kemulutnya, mengunyah pelan-pelan seakan meresapi rasanya. Pada suapan ketiga,
Frederick makan dengan cepat sambil
mengangguk-angguk sambil berkali-kali berkata Hmm lekker....lekker
Chandra mengambil foto Frederick
dengan piring daun singkong tumbuk yang hampir habis. Tradisi Indischeelatte
restoran, memajang foto pelanggan yang puas pada menu baru sebagai ajang
promosi. Beberapa tamu lain ingin mencoba karena melihat tingkah Frederick,
siang itu, satu panci daun singkong
tumbuk habis. Kami semua senang, melihat bule makan daun singkong tumbuk dengan
topping keju. Fadly sukses, aku juga tentunya. Emak pasti bahagia, ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar