SAHABAT
BERANDAL (2)
Sekolah SMP ku terdiri dari dua
lantai. Sekolah yang sederhana dan bersendikan Islam, siswa perempuan di
wajibkan berbusana muslim. Bangunan sekolah berleter U, di sebelah barat ada
perpustakaan di lantai satu dan musala di lantai dua, bangunan ini masih
terbuat dari papan. Hanya gedung belajar yang berdinding tembok dan punya
langit-langit tinggi, jendela tidak terlalu besar seperti SD ku, tapi udara
dapat mengalir dengan baik. Halaman yang digunakan untuk kegiatan olah raga dan
upacara terletak di tengah, tidak begitu luas tapi cukup untuk menampung kami
sekitar tiga ratus siswa yang terdiri dari unit SMP, MTs, MAS dan SMA.
Sekolahku ini Yayasan Wakaf yang dikelola secara profesional, dikomandoi
seorang ulama besar Ustadz H. Syihabuddin Syah. Beliau berasal dari Aceh yang
lebih di kenal sebagai Teungku Syeh Keumala. Diantara unit-unit lain, SMP punya
murid paling banyak sehingga nampak sangat menonjol. Itu informasi yang aku
ketahui melalui kakak-kakak OSIS yang memberi ceramah saat MOS. Padahal,
menurut pengamatanku mereka pasti sudah gagal menghafal sejarah itu, mereka
masih melihat catatan.
Jumlah kami sekelas ada tiga puluh
empat orang, jumlah berimbang antara
siswa laki-laki dan perempuan. Kelas satu terdiri dari tiga kelas, aku masuk
kedalam daftar kelas satu dua. Di kelas baru ini, tak satupun ada anak yang ku
kenal sebelumnya, agaknya hanya aku sendiri dari siswa SD ku yang masuk kemari.
Seragam sekolah ada tiga macam, Senin sampai Rabu memakai seragam biru putih
lengkap dengan dasi biru yang melingkari leher berbentuk X. Kamis dan Jum’at
seragam putih-putih, Sabtu memakai seragam Pramuka. Untuk kegiatan ekskul hari
Minggu, kami boleh memilih antara Pramuka dan Inkado. Aku belum berpikir akan
ikut ekskul yang mana, hari Minggu aku selalu menemani Emak ke pasar, berjualan
sayur.
Di kelas, sering terjadi keributan.
Menurutku itu karena peralihan kebiasaan belajar waktu SD. Sedikit-sedikit
mengadu kepada guru “ Bu..... rol saya di ambil si Anu “ atau “ Bu...si Anu
nyontek punya saya...” atau “ Bu.... si Anu kentut !!” Maka dari itu pula, guru masuk kelasku tak
boleh malas, sedikit lengah maka kelas akan riuh rendah seperti ada konser boy band. Biasanya, guru rajin
menerangkan sambil berjalan mengitari kelas, membumbui pelajaran dengan hal-hal
konyol dan lucu. Suasana belajar sangat segar, kami sama sekali tidak
mengantuk. Ada juga guru yang kerjanya hanya menyuruh kami mencatat, dia duduk
tenang melamun dimejanya, menekan-nekan tombol kalkulator, entah apa yang di
hitungnya. Tapi, untuk tahun pelajaran berikutnya dia sudah tak nampak lagi.
Sekolah kami sangat ketat menyeleksi guru, seakan tembok memiliki mata. Aku
bisa merasakan itu, guru yang tak kreatif dan malas pasti akan digantikan
dengan yang lain, silih berganti. Yang berkualitas
akan bertahan sampai tua dan mungkin juga sampai sakit dan mati.
Diantara teman-teman, Willy dan Aji
adalah anak yang paling ribut. Buku pelajaran yang dibawa tak pernah pas dan
akurat dengan roster yang telah diberikan wali kelas. Jangan heran, empat
pelajaran campur aduk dalam satu buku. Buku matematika berisi angka bercampur
dengan aksara arab melayu yang hurufnya keriting merintil. Bukan main
bingungnya buku si Aji menerima coretan yang tidak nyambung itu. Bertambah lagi
bingungnya aku karena duduk sebangku dengan anak berandal itu. Aku juga
kebagian akibat keberandalannya, meminjam pulpen setiap kali mencatat pelajaran
atau menyontek latihan yang di tugaskan guru. Aku tak berdaya, tangannya yang
besar mencengkeram pergelangan tanganku yang ringkih sehingga tulang terasa
retak. Aku tak berani mengadu kepada guru, karena itu bukanlah tipe ku.
Kubiarkan saja perlakuan itu sambil menyumpah serapah dalam hati, suatu saat
aku akan membalasnya dengan lebih pedih dan sakit, awas!!
Suatu kali, aku terlambat datang ke
Sekolah, tanpa dasi pula. Emak mengeluarkan dasi yang persis seperti kacu
pramuka putri itu dari dalam tasku dan mencucinya. Aku dan Emak lupa untuk
memasukkan kembali kedalam tas, kebiasaanku memakai dasi X itu ketika aku sampai di gerbang sekolah. Pintu gerbang
sudah di tutup, kuintip dari sela-sela pagar, satpam hitam menyeramkan itu
sedang berbicara dengan Pak Win, PKS tiga SMP ku yang juga tak kalah
menyeramkan. Pak Win bertubuh tambun, berkulit hitam dengan mata yang kurang
simetris. Suaranya menggelegar seperti namaku, Petir. Aku pernah merasakan
sendiri kemarahannya sampai aku terkencing-kencing di celana dan aku di suruh
pulang Bu Isra, guru BP yang cerewet minta ampun, kalau bicara seakan tak bisa
berhenti, tapi ia sangat keibuan sekali.
Waktu itu, aku lupa meminta Emak
untuk menjahitkan simbol sekolah di baju seragamku yang baru. Padahal hari
efektif sekolah sudah berjalan selama dua minggu. Aku dan beberapa siswa lain
di giring ke lapangan sekolah, Willy dan Aji tidak termasuk. Mungkin mereka
nakal dalam belajar saja, tapi atribut sekolah mereka lengkap. Aku pasrah
menyeret kakiku yang layu, sebagai anak baru tentu saja aku takut luar biasa.
Menghadapi lingkungan baru tidaklah mudah bagiku, ditambah lagi dengan disiplin
yang ketat. Aku mulai merasakan kantung kemihku penuh buncah, kutahan saja, aku
tak ingin menambah masalah dengan permisi ke kamar mandi.
Giliranku diinterogasi Pak Win,
dimataku dia seperti algojo, menakutkan. Agaknya, dia siap untuk melumatku,
menelanku bulat-bulat bersama sekalian daging dan tulang.
“ Kenapa simbolnya belum di pasang
?” suaranya bergetar, kantung kemihku semakin padat, aku semakin takut.
“ Lupa Pak...”
“ Lupa? Sudah dua minggu masih lupa?
lupa itu sehari dua hari boy...dua
minggu itu bukan lagi lupa, tapi sengaja melupakan tau?” suara itu sama seperti
namaku, Petir. Dia suka sekali menyelipkan kata boy di setiap akhir ucapannya.
Belakangan aku tau bahwa Pak Win berasal sama dengan Andrea Hirata penulis
hebat itu, dari daerah Bangka Belitung, pantas dia suka menyebut kami boy. Ketika suara Pak Win membahana
layaknya suara orang pantai. aku
mendadak takut dengan namaku
sendiri. Kakiku bergetar, bibirku pucat menahan desakan dari perut dan cuuuurrrrr.....
cairan kuning bening hangat itu meluncur tanpa kendali, aku kencing di celana.
“ Haaa? Kenapa pula celanamu basah?
Pengecut sekali rupanya kau boy...
berani kau melanggar peraturan, tapi tak berani bertanggung jawab.” Suara itu
agak melunak, temanku terkikik-kikik menahan tawa, bukan main malunya aku. Bu
Isra muncul dari ruang BP, menatapku iba. Bukankah anda juga akan sangat iba
melihat lelaki kecil yang ketakutan sampai terkencing di celana? Pak Win
memberi isyarat kepada Bu Isra, aku tak paham apa maksudnya. Mataku mulai merah
dan panas, aku ingin menangis.
“ Besok, kau datang dengan atribut
lengkap ya boy?... jangan kau ulangi
lagi tingkah payahmu, jadi kerjaan kau...” pak Win beralih ke siswa lain, aku
diserahkan kepada Bu Isra.
“ Rumah mu dimana ? “ suara itu
sangat iba, mata tajam teduh itu lekat menatapku.
“ Di Kampung Lalang Bu....”
airmataku mulai jatuh, air mata anak lelaki kelas satu SMP yang teramat sangat
malang dan putus asa.
“ Ibu akan membuat surat izin
pulang, tapi besok kamu datang dengan atribut lengkap ya?” Bu Isra mengulangi
perintah yang sama dengan perintah Pak Win yang seram itu. Aku mengangguk
dalam, sedalam-dalamnya.
Akhirnya aku pulang dengan celana
basah, untunglah di angkot tidak banyak orang. Hanya beberapa orang dijalan
yang memperhatikan celanaku yang basah, mungkin juga sudah mulai berbau pesing.
Di pintu rumah, aku menghambur kepelukan Emak yang tak kalah baunya dari aku,
Emak baru pulang dari pasar. Aku menangis sejadi-jadinya, menangisi
kemalanganku, kelupaanku, juga kemaluanku, ma’af.... maksudnya rasa maluku.
Emak mendengar sambil tersenyum, senyum renyah yang membuatku marah.
“ Hiks..hiks aku cerita sedih
kenapa Emak senyam senyum?” Emak menjawab dengan senyumnya yang semakin lebar,
aku kesal.
“ Mak... emak suka aku malu? Takut sampe
kencing di celana? Mak....!”
“ Enggak, emak hanya heran, ternyata
kamu penakut ya? Hehehe” Emak tertawa terkekeh-kekeh, aku merasa tak lucu.
Perkataan Emak itu tentunya beralasan, karena selama ini aku adalah jagoannya.
Aku satu-satunya lelaki di rumah dan Emak juga satu-satunya perempuan. Emak
selalu minta perlindunganku untuk masalah-masalah kecil, meskipun aku juga anak
kecil. Urusan pintu dan jendela, keamanan rumah sebelum tidur adalah tanggung
jawabku, plus termasuk menemani Emak di malam buta menuju perigi di belakang
rumah. Entah mengapa, sedari kecil Emak memposisikan aku sebagai lelaki yang
bertanggung jawab. Ketika tangisku
reda, Emak segera menyuruhku mandi, pakaian seragam
putihku segera dibawanya ke Ajo tukang jahit yang berjarak seratus meter dari
rumah.
Kini, aku bermasalah lagi, terlambat
dan tanpa dasi. Jika aku menerobos masuk, niscaya habislah aku menjadi mangsa
Pak Win yang berdiri gagah di balik gerbang. Mungkin aku akan mengalami hal
lebih parah dari masalah kencing di celana, bisa saja aku berak di celana.
Dalam kebingungan, muncul si bengal Willy
yang melangkah tanpa beban dengan tangan dimasukkan ke saku celana,
bersiul-siul bahagia. Dia melirikku ganjil, menyeringai seram layaknya jin,
dengan gigi ginsulnya yang menyerupai taring.
“ Enggak bisa masuk ya?” dia
memanjangkan lehernya seakan ingin melihat situasi di balik gerbang yang rapat,
kakinya berjinjit. Meski dia tinggi tentu saja dia tak dapat melihat kegiatan
dibalik gerbang sekolah yang tinggi. Aku menyesali diri karena bangun
kesiangan, ditambah lagi tadi di pasar disuruh Emak membeli kantong plastik di
toko Asiong yang antri, Emak kehabisan kantong plastik untuk mengisi sayur
belanjaan langganannya.
“ Kita enggak bisa masuk Wil... ada
satpam sama Pak Win, gimana ni?” aku mulai putus asa sekaligus heran melihat
Willy yang senyum bahagia seakan
tak ada beban.
“ Kita ke rumahku aja, gimana?”
usulnya nakal dan sangat berani.
“ Di rumahku enggak ada orang, kita
aman. Nanti jam pulang sekolah, kau bisa pulang. Emak mu enggak tau kan?
Gimana? “ dia melirikku semakin jahat, aku tak punya pilihan lain dan mengikuti
ajakannya. Daripada menghadapi Pak Win yang bersuara petir, pikirku. Sedikit
banyak, aku trauma terhadap kasusku sebelumnya.
Rumah Willy besar, gagah dan megah. Jaraknya
tak jauh dari sekolah, hanya berkisar lima ratus meter. Halamannya cukup luas,
ada beberapa permainan anak-anak di situ. Sebuah mobil bagus parkir di garasi,
dia memang anak orang berada dan aku baru tahu. Penampilan fisiknya tidak
menunjukkan dia orang yang berkelebihan, pakaiannya tak pernah rapi,
acak-acakan seperti tak terurus. Hanya badannya saja yang besar, menunjukkan
dia mendapatkan cukup gizi untuk pertumbuhannya. Rumah besar itu sepi, hanya ditunggui
seorang perempuan setengah baya yang sibuk memasak dan seorang bapak yang sibuk
menyiram tanaman. Willy mengajakku ke kamarnya yang juga luas, ada televisi
besar yang bisa di gunakan untuk bermain PS, kasetnya banyak sekali. Kaleng
biskuit bertumpuk-tumpuk, kelihatan sekali temanku ini suka ngemil.
Siang itu, aku menghabiskan waktu di
rumah temanku yang bengal dan kaya raya. Aku pulang siang sebagaimana jam
pulang sekolah, Emak pasti tak tahu. Malamnya, keasyikan itu terbawa tidur. Aku
sangat menikmati hari kebolosanku, bermain PS sepuas hatiku, makan sekenyangku
tanpa ada yang melarang ataupun tahu. Orangtua Willy keduanya bekerja dan
selalu pulang ketika malam menjelang, sama seperti aku dia anak semata wayang.
Pembantu di rumah tak punya kuasa atas semua perilakunya, mereka hanya pekerja
yang hanya cukup memenuhi kewajiban tanpa harus tahu semua urusan. Willy adalah
anak bebas, bebas dengan apa yang semua
ia miliki. Tentu saja aku adalah kebalikannya, menikmati hidupku dengan
segala keterbatasan. Emak ku yang penjual sayur dan Ayah yang tak pernah ku
kenal rupa wajahnya. Yang disimpan Emak hanya sebuah foto kusam saat mereka
menikah, itupun sisa foto yang terseret banjir ketika usiaku empat tahun. Aku
benar-benar tak tahu rupa ayahku.
Aku mulai suka pada rutinitas kebolosanku, ke
rumah Willy. Seakan itu adalah aktifitas dan minat utamaku, bukan belajar. Aku
tak menyadari jika aku sudah masuk catatan hitam di sekolah, namaku
berdampingan dengan nama Willy. Dosa kami sama, sehingga catatan itu berdampingan,
kejar mengejar seakan berlomba membuat daftar dosa yang semakin lebar.
Kenakalan sahabatku ini dan aku juga tentunya ternyata sangat mengerikan, dia
pernah menawarkan aku rokok. Aku mencobanya dan batuk-batuk seakan dadaku mau
pecah, bibirku serasa membesar perpuluh-puluh kali lipat. Tak sekali aku
mencoba, tapi berkali-kali. Tetapi tubuh ringkihku menolak, aku tak pernah bisa
merokok dan akhirnya aku menyerah. Menyadari keadaanku, Willy tak lagi membujuk
dan merayu untuk mencoba, mungkin juga dia takut aku mati di kamarnya dan
menjadi urusan. Sementara sahabatku ini, merokok seperti bapak-bapak, padahal pada
waktu itu kami masih SMP kelas satu menjelang naik ke kelas dua. Jika pulang ke
rumah, aku segera merendam pakaian seragamku yang berbau rokok agar Emak tak
curiga, aku mendadak rajin mencuci pakaianku sendiri. Emak sumringah, mendapati
anak lelakinya yang baik budi dan rupa-eh
Surat itu kini ada dalam genggaman,
aku gemetar takut. Itu adalah surat kedua, surat panggilan untuk orangtua yang
beranak bengal dan berandal. Kini, aku ada dalam daftar itu, dan aku menjadi
anak yang butuh perhatian khusus. Surat pertama tak pernah sampai ke tangan Emak. Sebelum
sampai rumah, aku sudah terlebih dulu mencampakkannya ke tong sampah setelah
kurobek-robek sedemikian rupa. Tentu saja Willy menyuruhku, karena ia melakukan
hal yang sama. Kini surat kedua ada di tanganku, dengan kata-kata mutiara dari
Bu Isra yang mendadak kejam
“ Ibu tau, surat pertama tak pernah
sampai ketangan Ibumu, kamu pasti sudah membuangnya. Jika surat ini tak sampai
juga dan Ibumu tak datang, Ibu dan Pak Win akan menyusul kerumahmu”, Bu Isra
mencondongkan wajahnya dengan mata mengancam, aku ciut. Pak Win tentu saja
tidak main-main kepada anak yang tidak disiplin, apalagi kurang ajar sepertiku.
Malam sebelum tidur, kuserahkan
surat itu pada Emak dengan kegalauan yang luar biasa. Aku sudah siap-siap
mendapati cerca dan sumpah serapahnya. Aku meringkuk di sudut ruangan yang
remang, siap dipecut. Emak membaca surat itu dengan ekspresi kesedihan luar
biasa, matanya merah. Tapi, cerca dan sumpah serapah itu tidak ada, Emak memang
wanita yang tak pernah marah, hanya sedikit cerewet saja itupun kurasa karena
pengaruh profesinya sebagai pedagang sayur di pasar yang bergaul dengan
orang-orang kasar. Emak menangis, tidak bertanya apa-apa, juga tidak menyapaku
yang meringkuk di sudut ruang. Emak beranjak ke perigi di belakang rumah,
kembali dengan wajah basah. Emak membentang sajadah, sholat dan menangis tersedu-sedu mengadu pada Allah. Aku ikut menangis pilu, menyesal.
Emak terpaksa menghadap guru BP atas
kenakalanku yang sering bolos. Emak nampak sedih dan tertekan, aku berjanji
dalam hati untuk tidak lagi mengulangi kenakalanku. Willy agaknya belum
bertobat, dia masih sering merayuku untuk ke rumahnya. Aku menolak tegas,
membayangkan wajah Emak yang letih saja aku sudah cukup perih. Aku berjanji
dalam hati untuk bertobat, tak lagi bolos sekolah dan belajar sungguh-sungguh,
demi Emak dan masa depanku.
Di kelas dua SMP, aku tentu saja
memasuki dunia puber remaja. Aku mulai suka melihat teman perempuan, mengamati
bentuk tubuh mereka secara diam-diam. Tuhan memang maha hebat, menciptakan
perempuan dengan sedemikan rupa. Semua yang ada pada perempuan cantik, mulai
dari wajah, tubuh sampai kepada suaranya. Aku sangat menyukai sahabat perempuan
yang bersuara empuk. Kini, Aji yang membisik-bisikkan rayuan syetan. Katanya
dia pernah memegang bokong
siswi sekelas kami, ada sensasi di sana. Katanya lagi, bokong anak perempuan sintal
dan padat, aku berdebar dan ingin mencobanya.
Tentu saja aku tidak bodoh mencoba
dengan terang-terangan. Ketika masuk jam istirahat dan teman-teman sibuk menuju
kantin, aku akan mencuri kesempatan memegang bokong siswi yang paling bahenol sekelas. Dia
terpekik tertahan, mencari sumber keisengan itu tapi ia tak mendapatinya karena
semua berbaur. Jantungku berdebar keras, merasakan sensasi itu, merasakan bokong perempuan. Aku merasa
aman, karena Cici tak tau siapa yang sudah berani memegang area belakangnya. Itu terjadi
lebih dari dua kali, aku masih aman.
Kini, kenakalan itu semakin
menjalar. Aji semakin menghembuskan nafas syetannya, kami mulai mengamati dada
yang tertutup jilbab itu. Kami ingin mencari momen yang tepat agar dapat
menyentuhnya, seperti apa rasanya menyentuh gumpalan itu. Akhirnya itu terjadi,
dan sialnya aku yang kena. Jam istirahat, seperti modus sebelumnya aku mencoba
mendesak-desak teman perempuan. Tapi agaknya teman-teman perempuan sudah mulai
awas, Pricilla menjerit keras ketika merasa ada yang sengaja menyentuh dadanya.
Semua mata mengarah kepadaku, aku tertangkap basah dan tak berdaya. Bu Tri yang
masih ada di kelas menggiringku ke kantor BP. Teman-teman berteriak huuuuuuuu.... membahana dan panjang, aku
terpojok dalam lautan malu.
Aku kembali di sidang di ruang BP,
semua menyudutkanku, termasuk si Aji syetan begundal itu. Siswi-siswi perempuan
yang menjadi korban beranggapan aku adalah satu-satunya siswa gatal yang sudah
berani menyentuh tubuh mereka. Padahal Aji biang kerok juga, yang termasuk
menghembuskan nafas syetannya padaku. Tapi aku terjepit dan tak bisa membela
diri, aku pasrah dan diam, tunduk mengkerut seperti kucing di siram air.
Suara Bu Isra melengking tinggi, tak
ada lagi aura keibuan di wajahnya. Mungkin ia lelah menghadapi kenakalanku,
atau mungkin juga dia membenciku. Anak berandal yang tak tau di untung, miskin
tapi belagu. Sesekali jari telunjuknya menuding-nuding mukaku, jika bisa di
makan, mungkin aku sudah ditelannya bulat-bulat tanpa di kunyah karena dagingku
yang keras akibat kenakalan.
“ Ada apa Bu Isra ? “ suara itu
terdengar tegas. Aku melirik, Ibu Frida berdiri di depan pintu ruang BP, sedari
tadi aku tak melihat Pak Win, mungkin dia tidak datang.
“ Ini si Petir, dia memegang dada
dan pantat teman sekelasnya, kurang ajar sekali, ini pelecehan seksual, ada
hukumnya....”Bu Isra menerangkan dengan
emosi yang belum reda, aku merinding, jika bicara hukum berarti aku bisa
berurusan dengan polisi.
“ Udah... enggak apa-apa. Petir jadi
urusan saya, yok... ke ruangan Ibu” Bu Frida merangkulku, mengajak berjalan
menuju kantornya, di sebelah ruang BP. Aku tengggelam dalam rangkulannya, dia
besar sekali untuk ukuran seorang perempuan.
Bu Frida adalah guru IPS yang masuk
ke kelasku juga. Beliau adalah PKS satu yang berurusan dengan kurikulum. Waktu
mendaftar pertama masuk, beliaulah yang memyambutku, orang pertama seumur hidup
yang mengatakan bahwa namaku bagus. Ibu ini sangat modis, walau terkadang
terkesan norak. Hari itu, mata tajamnya tak di hiasi bulu mata lurus-lurus
runcing. Tapi bulu mata itu nampak patah keatas, di kuatkan dengan cairan hitam
maskara. Kelopak matanya berwarna abu-abu, sesuai dengan busana dan jilbab yang
dikenakannya. Wajahnya bercahaya, nampak cantik.
Aku duduk di seberang mejanya,
terpacak di kursi biru dengan dudukan dan sandaran lembut, kursi itu memiliki
roda dan bisa berputar. Aku pernah juga melihat kursi seperti ini di bank
ketika Emak mengajakku untuk menabung, tapi kursi itu diduduki pegawai bank,
bukan penunggu antrian. Bu Frida menatapku seperti tatapan seorang ibu.
“ Kamu Petir kan? “
“ Iya Bu...”
“ Kamu memanggil Ibu mu apa, Ibu,
Mama, Mami, Mamak, atau Bunda? “
“ Emak bu....”
“Oo....Emak, Emakmu berjualan sayur
kan?“ aku menggangguk, sedikit bingung. Aku yang nakal kenapa pula Emak yang di
tanya-tanya?
“Ibu selalu belanja sayur di pasar
di tempat Emakmu, Ibu sangat mengenal Emakmu....” Ibu Frida menarik nafas
panjang. Nasehat itu mulai meluncur dari bibirnya yang diolesi lipstick merah
jambu. Ia menjelaskan tentang puber, pengendalian diri, iman, cita-cita dan
masa depan. Aku tak merasa digurui sama sekali, nafasku terasa sesak, aku
menangis.
“Kamu tak pernah mengenal Ayahmu,
yang kamu punya hanya emakmu yang tubuhnya habis untuk menafkahimu. Mengapa kamu
masih mengkhianatinya Tir? Dia tak punya siapa-siapa selain kamu anaknya. Kamu
tau apa cita-cita emakmu? Dia ingin kelak kau akan menjadi sarjana, mengangkat
harkat martabatnya yang seorang janda. Pernahkah kau disakiti emakmu sehingga
kau mengkhianatinya?” aku menggeleng-menggeleng sambil tersedu. Ibu Frida
membuka sebuah buku besar yang sempat kulirik tulisan besar di sampulnya, DKN.
“Emakmu tak berlebihan
menggantungkan cita-citanya padamu Tir, nilaimu semua bagus. Semua nilaimu
diatas rata-rata, kamu anak cerdas. Jangan kamu ikuti teman-teman yang bodoh
dan berkepala kosong itu, belajarlah dengan kesungguhan. Buktikan pada Emakmu
bahwa kamu anak yang bisa di banggakannya.” Bu Frida menghampiriku yang
tersedu, air mataku bercampur ingus yang turun naik. Ia menyentuh kepalaku,
mengelusnya layak seorang Ibu pada anaknya, aku teringat Emak dan ingin
memeluknya, aku ingin minta ma’af.
“ Di rumah nanti kamu minta ma’af
pada Emak ya?” Aku mengangguk, mencium tangan Ibu guruku yang baik ini. Ingus
dan air mataku lengket di telapak
tangannya bagian atas, beliau tidak jijik atau mencoba mengusapnya.
Dibiarkannya saja lendir itu menempel di tangannya.
Itulah yang ingin kukatakan pada
kalian sahabat, bahwa Bu Frida ini yang benar-benar berhasil meyentuh urat
syaraf kesadaranku. Aku bertekad untuk membahagiakan Emak dan menjadi anak baik
yang meninggalkan segala kenakalan masa puber yang terkadang liar tak
terkendalikan. Di rumah, aku memeluk Emak dengan tersedu-sedu tapi tak berani
menceritakan apa yang sudah terjadi. Aku malu pada Emak, atas tingkahku memegang
bokong dan dada anak
perempuan teman sekelasku. Emak hanya menikmati tangis dan pelukanku tanpa
bertanya apa-apa. Bukankah esok pagi ia akan bisa bertanya pada Bu Frida
langganannya, yang saban subuh muncul membeli sayur segar? Malam itu, aku tidur
bersama Emak. Merasakan nafas hangat dan belaian halus tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar