Kamis, 24 September 2015

LELAKI HENING DAN SEPOTONG AYAM GORENG




            Hujan turun sedari pagi tadi. Parit-parit busuk sudah tumpah ruah dengan sampah-sampah plastik, yang sebagian menyumbat saluran air sementara sebagian lagi terdampar di bibir-bibir parit yang biru kedinginan. Suara klakson mobil di ujung gang sempit yang berupa jalan raya bersahut-sahutan marah, menciptakan irama yang tumpang tindih seperti music rock. Abay masih menatap hujan yang jatuh dari liku seng berkarat rumahnya, air yang jatuh menimpa sepatu busuk, bunga asoka yang kering dan papan-papan lapuk tak berguna. Aroma parit yang menguap diabaikannya, hidungnya sudah cukup beradaptasi dengan bau itu, bau yang basah dan bau yang kering.
            “Masuklah Bay, disambar petir kau nanti,” Wajah ibu muncul dari balik pintu, khawatir.
            “Sepertinya hujan tak berhenti seharian ini, masuklah,” Ibu masih membujuknya.
            Abay mengkerut dan melilit sarungnya semakin rapat, hujan seharian? Sama artinya tak ada uang belanja buat ibu dan dirinya hari ini. Abay melirik sudut teras sempit rumahnya, gerobak es berwarna hijau lumut yang diam manis tak berdaya. Ah.. betapa hujan telah merenggut mimpinya hari ini, ingin membelikan ibu ayam goreng lezat yang sudah hampir seminggu dicita-citakannya.
            “Abay… masuklah Nak. Nanti kau masuk angin, sakit, jadi urusan… masuklah!” kali ini Ibu sudah serius, bukan lagi wajah yang muncul dari balik pintu, tapi ia sudah berdiri di samping Abay. Abay bangkit, benar kata ibu, jika ia sakit bagaimana pula? Direngkuhnya bahu ibu masuk ke dalam rumah.
            “Kau tenang saja, ibu masih punya uang yang bisa dibelanjakan hari ini,” Ibu tersenyum, dahi Abay berkerut, ibu tertawa.
            “Hahaha.. jangan khawatir, ibumu ini pintar menabung, kau jangan terlalu serius, kau sudah tua dibanding umurmu,” Ibu tertawa, tapi matanya berkaca-kaca. Abay masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di atas dipan berlapis tilam kapuk tipis. Matanya menatap langit-langit kamar yang kuning karena asap pembakaran obat nyamuk. Abay memejamkan mata, di luar hujan dan petir semakin menggila. Berdentum menggelegar, serasa mau merontokkan otak-otak kotor manusia yang sibuk dengan klakson-klaksonnya. Abay merasa hening, semuanya senyap.
***
            Hari ini langit begitu bersahabat, biru merona dihiasi awan cirus yang melambai indah. Abay tersenyum puas menyusuri gang sempit rumahnya, menuju emperan toko tempat ia biasa berdagang. Akiong tersenyum menyambutnya di depan pintu toko.
            “Hari cerah, Bay.. semoga hoki lu baik hari ini,” Akiong menarik kardus bekas di lantai yang menjadi lapak Abay. Mungkin kardus itu tadi malam digunakan pengemis yang tak punya tempat tinggal, bau pesing menyeruak, Akiong menutup hidungnya sambil mendengus.
            “Sutiii! Lu ambil karbol cepat lu siram ini bekas kencing!” suaranya nyaring memanggil Suti, asisten rumah tangga yang biasa membantu istri Akiong. Suti cepat-cepat ke belakang membawa tubuhnya yang tambun, geraknya lamban. Tapi ia nyaman bekerja dengan keluarga keturunan ini, begitu pula dengan Akiong yang tak pernah mempersoalkan tubuhnya yang semakin besar dan lebar dan kerjanya yang lamban. Keluarga ini terlalu baik, ukuran tubuh Suti adalah suatu bukti asistennya itu sangat sejahtera. Sampai ada desas desus jika si Suti ikut makan babi, ih!- Dan membiarkan Abay membuka lapak di depan tokonya tanpa biaya sewa adalah kebaikan yang lain.
            Langit cerah, rezeki Abay cerah. Hari ini ia bisa membelikan ibu ayam goreng, Abay menitip gerobak es pada Teno, pegawai toko onderdil sepeda motor Akiong yang hitam pekat tapi sangat rajin. Teno memberi isyarat nakal, Abay memberinya segelas es serut sebagi upah. Abay menyusuri jalan menuju restoran ayam goreng yang telah lama diimpikan ibunya. Masuk ragu-ragu dengan pakaian bau debu dan matahari. Kaos hitam kusam, celana jeans super belel dan sandal jepit karet yang talinya sudah molor. Wajah bahagia ibu membuatnya berani masuk, celingak celinguk tanpa ada yang peduli. Beberapa mata sinis mulai merayapi tubuhnya. Ada pula yang prihatin, ada yang tertawa hina. Abay harus berani, demi senyum ibu…
            Abay ikut antrian di meja pemesanan, beberapa orang mulai menjauh menghindarinya, Abay menunduk. Semua berpakaian bersih dan wangi, sementara dia? Ah.. mengganggu selera makan saja. Kini giliran Abay memesan sepotong ayam goreng.
            “Ada yang bisa dibantu? Abang pesan apa?” senyum ramah adik cantik di belakang meja kasir. Hening, Abay mengerutkan dahi. Adik cantik berlipstik merah tersenyum dan mengulang tiga kali pertanyaannya. Masih hening saja, Abay semakin berkerut.
            “ABANG PESAN APA?” Adik cantik mulai berteriak, semua mata pengunjung sudah mengarah kepada mereka, restoran mulai ricuh, Abay masih hening. Adik cantik mulai berkeringat, teman-temannya mulai menghampiri, Abay bingung. Semua mata Nampak merah marah. Saat kritis, seseorang menepuk bahu Abay pelan, Abay berpaling. Perempuan itu tersenyum lembut, mulai menggerakkan tangannya memberi isyarat. Abay menarik nafas lega, karena ada seorang perempuan baik yang bisa memahaminya. Abay mulai bercakap cakap dengan isyarat, sangat bersemangat dengan mata yang bersinar. Perempuan itu mengangguk angguk dengan mata berkaca-kaca.
            “Dia pesan ayam goreng, Dik. Satu potong saja buat ibunya,” Perempuan itu menelan ludah yang mendadak pahit.
            “Dia sudah menabung untuk beli ini, supaya ibunya senang,” mendadak hening, semua mata mengarah ke Abay. Lelaki hening itu tersenyum, ketika semua mata tak lagi marah tapi mengharu biru. Si adik cantik dibalik meja kasir menarik nafas panjang, merubah mimik wajah yang tadi sempat jutek menjadi sebingkai senyum ramah dan mata bersahabat.
            Akhirnya, Abay pulang bukan dengan sepotong ayam goreng tapi setengah lusin, ditambah segala macam rupa makanan lezat yang tak pernah diimpikannya. Bukan saja perempuan baik ini menambah jumlah pesanan Abay, tapi ada beberapa orang lagi yang berbaik hati mengahadiahkan makanan lezat untuk ibunya. Hati Abay bersenandung riang di bawah matahari siang. Di dalam restoran, perempuan baik tadi menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Menahan air mata yang nyaris banjir. “Maafkan aku Bu… aku tak pernah mengahadiahkanmu makanan lezat, meski aku mampu membelinya dan selalu menikmatinya.”

Medan. 25 September 2015
Happy Tasyrik day…
Happy Tummy :)