Farhat menyeka keringat yang
mengucur deras di pelipisnya, matanya nanar memandang jalan yang terasa masih
sangat panjang. Jalan hitam tampak berkilau diterpa cahaya matahari yang tepat
berada di atas puncak kepala. Farhat menyipit sejenak, alam bawah sadarnya
membisikkan “black jack” jalan hitam
itu berubah menjadi akik hitam besar dengan berat ber ton-ton. Farhat
menggeleng-gelengkan kepala, menepis bayang imajinasinya. Keringat meleleh ke
tengkuknya yang bercampur dengan minyak rambut. Farhat mengusap wajahnya,
melenguh sekerasnya tapi bara matahari benar-benar tak bisa berdamai.
“Akik sialan!” jerit Farhat dalam
hati. Demam akik sudah membuatnya cukup merana, seperti hari ini contohnya. Ia
diusir dari kelas karena belum menyelesaikan SPP tiga bulan. Bidang keuangan
sudah memintanya untuk memanggil orangtua untuk konfirmasi. Biasanya, jika itu
memang masalah ekonomi pihak sekolah masih sangat toleransi. Orangtua perlu
diajak bicara untuk menggali informasi ada apa gerangan dengan SPP anaknya? Hal
ini untuk menghindari anak-anak nakal yang suka menyalah gunakan kepercayaan
orangtua dan Farhat sudah melakukannya dan dia masuk kategori itu sekarang. Ya!
FARHAT MENGGUNAKAN UANG SPP UNTUK MEMBELI BATU AKIK. Jleb!
Setiap pergi dan pulang sekolah,
Farhat selalu melewati kerumunan orang-orang mengasah batu akik dan membuatnya
menjadi cincin. Awalnya Farhat hanya melihat saja, tapi lama kelamaan tergoda
dan ingin memilikinya. Awalnya ia punya satu, tapi ia dengar bisik-bisik bahwa
batu akik itu bisa dijadikan investasi. Dengan kata lain beli saja
banyak-banyak dan jual lagi dengan harga tinggi, seperti emas gitu…dan Farhat
melakukannya diam-diam tanpa setahu ayah dan ibu. Ada beberapa batu akik yang
laku dibeli temannya, tapi kemudian uang itu ia belikan lagi batu akik yang
baru, ada jenis bio solar, bacan, panca warna, giok aceh, black jack, merah
delima, kecubung kasih, belimbing dan… dan… total sekarang ia punya lima puluh
lima batu cincin. Duhai… jari tangan saja jumlahnya sepuluh, okelaaah tambah
cari kaki jadi dua puluh, masih lebih banyak batu cincinnya ya? Daripada jumlah
jari Farhat. Baiklaah.. katanya kan buat dijual lagi, hmmm… mari kita maklumi.
Hampir setengah jam Farhat berlari,
akhirnya ia sampai ke rumahnya yang bercat hijau, di halaman tumbuh aneka pohon buah-buahan. Pohon mangga, jambu air,
jambu biji hingga sawi dan bayam hijau memesona. Di sudut-sudut pagar ibu
menanamnya dengan pohon ubi, pohon kari, jeruk purut dan rumpun sere. Ibu yang
hebat, setiap kali memasak ia cukup memetik di halaman rumah, sayuran segar
yang diolah menjadi santapan lezat setiap hari ada di meja makan. Tapi, hari
ini Nampak sayuran itu sudah dicabut habis, Dari luar, Farhat mendengar suara music
dangdut diset sangat keras, diiringi dengan suara-suara tidak jelas. Farhat membuka
pintu rumah, ayahnya duduk di kursi sambil mengepulkan asap tebal dari sebatang
rokok. Jari jemarinya dipenuhi cincin batu akik, lengkap pula dengan kalung
berbandul batu akik yang besar menggantung di lehernya. Farhat mendelik kaget,
ia tak pernah melihat ayah seperti ini. Di dapur, ibu menceracau seperti orang
kesurupan, daster lusuhnya semakin lusuh, rambutnya naik ke atas, alisnya
semakin tinggi dan bibir tipisnya bergerak kesana kemari tak jelas. Dan… mata
ibu memerah, tangannya gemetar, dadanya bergemuruh turun naik penuh emosi.
“Aku gak mau tau, Yah… hutangku di
warung semakin banyak. Aku sudah malu belanja, aku sudah berjuang sebulan ini,
menunggu janji Ayah. Tapi apa yang kudapat haa? Apa mungkin aku ngasi anak-anak
makan hanya pakai garam! Pakai minyak jelanta! Bodoh nanti anakmu, Yaaahh!” Ibu
menjerit tertahan. Ayah kembali mengepulkan asap.
“Sabarlah, Bu. Besok kalau batu ini laku
sampai lima juta kan kau juga yang senang,” jawab ayah dengan tenang, cool..
“Apa? Sampai batu itu laku? Sampai kapan?
Nunggu rambutku putih? Nunggu aku mati kelaparan?” ibu duduk di samping ayah,
Farhat masih beku di depan pintu.
“Aku enggak mau tau, Yah. Pergi sekarang,
jual semua cincinmu. Kasi aku uang belanja hari ini, beras sudah habis,” ibu
menggeram, ayah masih duduk tenang menghisap rokoknya, asap kerusuhan semakin
tebal. Ibu bangkit, menarik jemari ayah dengan paksa, persis seperti perampok
amatir. Ibu mencabut semua cincin yang melekat di tangan ayah, menarik
kalungnya, masuk ke kamar dan mengeluarkan satu kotak besar aneka bebatuan. Bola
mata Farhat membulat, lidahnya semakin beku, hawa kematiannya semakin dekat.
“Mau kemana?” Ayah bangkit, matanya
begitu garang.
“Mau aku jual sekarang,” ibu
menjawab gemetar.
“Jangan sembarangan! Itu nilainya
puluhan juta!” Ayah mulai keras, ibu terduduk lemah.
“Ayah, aku sudah puluhan tahun
menjadi istrimu. Aku tak pernah minta uang puluhan juta atau juta-juta yang
lain,” air mata ibu jatuh.
“Aku hanya ingin kita, anak-anak
bisa makan yang layak, yang sehat. Mereka bisa sekolah dengan baik, jadi orang.”
Airmata ibu semakin deras.
“Ayah lihat aku? Aku tak ingin baju
bagus atau tas dan sepatu mahal. Aku menanam sayur di halaman rumah, supaya
kita bisa hidup hemat dan anak-anak makan makanan yang sehat. Semua aku
pertaruhkan untuk keluarga kita, anak-anak kita. Aku mohon, Yah. Berhenti bermimpi
dengan batu-batu itu. jika Ayah mau, pakailah satu atau dua cincin. Jangan mengorbankan
uang belanja untuk membeli batu yang tak jelas kapan lakunya, tolonglah Yah,”
ahh… ibu semakin terisak. Dalam usia perkawinan ayah ibunya yang sudah
menjelang dua puluh tahun, Farhat tak pernah melihat suasana serusuh ini. Ayah Ibu
selalu bahagia… lihatlah! Ayah membantu ibu berdiri, mengusap airmatanya,
membenahi rambutnya.
“Ma’af, Bu. Ayah akan menjualnya
hari ini, Ibu tunggu saja di rumah ya?” Ayah mencium kening ibu, tersenyum dan
mereka berpelukan. Sepertinya, suasana membuat mereka tak menyadari kehadiran
Farhat, yang sudah menyaksikan episode demi episode yang membuatnya nyaris mati.
“Kamu kenapa, Nak?” tiba-tiba saja
ayah sudah menegurnya, menyadari kehadiran Farhat yang kakinya sedari tadi
terpacak di muka pintu.
“Ma’afkan Ayah ya? Ayah sudah khilaf
sampai membuat ibu menangis,” sambung ayah yang membuat Farhat semakin gamang
nyaris pingsan.
“Kamu sakit, Nak?” kembali ibu yang
meraba keningnya penuh kasih sayang, keningnya yang penuh keringat dingin. Farhat
tak tahu harus berbuat apa, kakinya gemetar, giginya gemeretuk, semua pandangan
hitam dan dia ambruk…
#episode zaman batu