“Cincin ini untukmu, pakailah,”
Pak Sutan menyerahkan sebuah cincin cantik bermata merah kepada Rara. Gadis
yang belum genap dua puluh tahun itu
melongo, tak percaya.
“Benar ini buat saya, Pak? Ini
kan cincin mahal,” Rara masih tak percaya. Pak Sutan tersenyum tipis. Matanya
menerawang ke langit-langit rumahnya yang kusam penuh misteri.
“Bapak tak begitu yakin apa
memang cincin ini mahal. Ini cincin batunya batu delima, sudah lama ada pada
bapak, bahkan bapak lupa sejak kapan. Daripada enggak dipakai, jadi buat kamu
aja, pakailah,” Rara menerima dengan ragu, memerhatikan dengan seksama cincin
yang ada di telapak tangannya, menimang-nimang.
“Terimakasih, Pak. Nanti saya
pakai,”
“Kenapa enggak dipakai
sekarang?”
“Enggak matching, Pak. Saya pake baju ijo, harusnya bapak kasi giok tadi,
hehe,” Rara tertawa kecil, sebagai gadis kota yang modis, asesoris buatnya
bukan sekadar pakai saja. Pak Sutan tersenyum tipis, menaikkan bahunya.
“Saya permisi, Pak. Mau cari
Ulis, entah kemana dia dari sore tadi,” Rara bangkit dari duduknya, merapikan
baju dan roknya. Pak Sutan ikut berdiri.
“Jangan bilang siapa-siapa ya?
Kalau saya kasi kamu cincin itu,”
“Oke Pak, siap! Terimakasih ya
Pak?” Rara menyalami pak Sutan dan bergegas pergi.
***
Batu, batu, batu! Itulah yang
membuat Rara dan Ulis harus rela terjebak di kampung ini sejak seminggu lalu. Menemani papa yang sibuk berburu batu akik,
bio solar, bacan -dan entah apalagi sambil liburan. Memang benar, kampung ini
cukup memberi hiburan. Kampung alami yang diapit bukit hijau dan birunya laut.
Langit cerah, pohon yang rindang, laut bening dengan ombak yang tenang, siapa
yang dapat memungkiri pesonanya? Tapi jika terlalu lama juga kedua anak itu
pasti bosan, hidup tanpa gadget
karena kampung ini tak bisa dijangkau sinyal.
“Kak, cincin merah itu
darimana?” wajah Ulis pucat, nafasnya memicu cepat, matanya merah.
“Buat apa? Emang penting?” Rara
menyipitkan matanya, membaca ada sesuatu yang tak beres.
“Serius lho, Kak. Kamu dapat
darimana? Kalo enggak aku kasi tau papa!” Ulis mengancam, matanya semakin
merah. Rara semakin menyipit, darimana adiknya tahu dia memiliki cincin merah?
“Aku dapat di meja kakak, trus
aku pake” Ulis menjelaskan tanpa ditanya.
“Ada aura aneh di cincin itu,
Kak. Makanya aku Tanya kakak dapat darimana,”
“Lis. Aura aneh gimana? Kamu
juga harus ingat pesan papa, kita enggak boleh syirik karena batu, tau?” kini
Rara melotot, takut juga melihat adiknya ini, kok tiba-tiba aneh? Papa yang
suka koleksi batu aja enggak pernah ngomong aura-aura gini.
“Aduh Kak Ra, pokoknya jangan
dipake! J A N G A N!” Ulis menekankan kata ‘jangan’ dengan mengeja keras-keras.
Rara mengibaskan tangannya dan pergi. Memang dua malam ini dia selalu mimpi
buruk, tapi mana ada hubungannya dengan batu?
“Kita cari udang yok! Besok kita
pulang. Pasti kangen laut..” Rara menarik lengan kurus adiknya, berlari ke arah
laut yang berjarak lima puluh meter dari penginapan. Sejenak kemudian mereka
sudah tenggelam dengan keasyikan, lupa pada warna kulit yang hitam terbakar.
Dan papa juga sibuk packing aneka
jenis batu buruannya. Sebagian besar masih dalam bentuk bongkahan.
***
Hujan turun dengan deras,
halilintar menggelegar sambung menyambung di langit. Bayangan di jendela kamar
timbul tenggelam, berupa kilatan cahaya seperti blitz kamera. Rara meringkuk di balik selimut, ia sendirian di
rumah. Mama dan Ulis mungkin terjebak hujan di supermarket, papa belum pulang
kantor. Rara tidak pernah mengalami suasana mencekam seperti ini sebelumnya, ia
seorang gadis pemberani. Tapi, ia tidak mengerti kecemasan dan kegelisahan yang
sedari pagi menghantuinya. Gelisah dan cemas tanpa alasan yang jelas. Rara tercekat
ketika secara perlahan matanya menangkap bayangan kilat yang berubah-ubah. Awalnya
berupa asap, seperti sisa pembakaran sampah yang masuk melalui celah jendela. Berikutnya
bayangan itu perlahan berubah menjadi wajah dengan seulas senyum ramah, aroma
aneh mulai menusuk hidungnya, Rara gemetar. Bayangan wajah itu terus berubah-ubah
dalam hitungan detik, tersenyum, sedih, menangis dan akhirnya marah dengan mata
merah menyala-nyala. Rara membaca ayat Al Qur’an yang dihafalnya dengan panik,
dia semakin tersudut di pojok tempat tidur dengan selimut yang bergulung. Bayangan
itu belum mau pergi dan matanya semakin merah dengan aroma aneh yang semakin
tajam. Warna merah mata itu mengingatkan Rara pada cincin yang dipakainya. Dalam
hitungan detik Rara melepas cincinnya dan melemparkan kearah bayangan yang
menakutkan itu. Blusss…. Bayangan itu
lenyap dalam sekejab tak berbekas seperti uap yang pergi tak pernah berjejak.
Rara menghapus wajahnya yang basah dengan
keringat dingin. Seumur hidup baru kali ini ia merasakan hal mistis seperti
ini. Dia kembali teringat apa yang dikatakan Ulis beberapa hari lalu agar ia
jangan memakai cincin itu, apakah Ulis merasakan hal yang sama? Mengapa adiknya
itu tidak menceritakan apa yang dialaminya? Atau Rara yang tak percaya? Dengan sisa
ketakutan dan dada yang masih berdebar kencang seperti habis lari marathon,
Rara menuju kamar mandi. Rara berwudhuk dan sholat sunah dua raka’at,
berlindung kepada Allah, semoga batu itu tidak membawa kesyirikan, percaya
selain daripada Allah azza wajalla. Bell rumah berdenting beberapa kali,
mungkin mama dan Ulis, atau juga papa sudah pulang.
#Siapa Pak
Sutan? Kok cincin batu delima merahnya dikasi ke Rara ya?
#Musim batu,
kembali ke zaman batu, apa kamu juga punya batu? Hihihihi….