Angin gemerisik meniup batang padi
yang mulai menguning, orang-orangan sawah gemulai bergerak sesuai irama. Aku masih
duduk di rangkang[1]
menunggu petang, menanti matahari terbenam di sebelah barat tenggelam ditelan
laut di ujung persawahan. Kutarik nafas panjang, menikmati segarnya udara sambil
menyantab
sisa
timphan[2]
yang tadi diantar Nyakchik[3]
sebagai kudapanku, mengisi sore di sawah. Di sebelah utara terdengar sayup-sayup
berkumandang sholawat Nabi, dari dayah Teungku Adi. Suaranya terdengar serak kelelahan,
seakan ingin menunjukkan kelelahan yang sama, ketika dia membimbing santri di
dayahnya yang semakin sepi saja.
Matahari yang kutunggu semakin bersembunyi
malu-malu, tenggelam ke dalam laut. Suara ombak berderu-deru, angin menampar pipiku,
air laut mulai pasang. Aku bergerak pulang, menyusuri pematang sawah dengan lega
dan gembira. Akhir-akhir ini, sunset agak
langka di lautku. Karena cuaca yang tak menentu, matahari sore sering tertutup awan,
yang tampak hanya bias cahaya merah saga saja. Suara Teungku Adi yang
bersholawat sudah berubah menyenandungkan ayat Al Qur’an, merdu mendayu. Teungku
yang tambun hitam itu punya suara luar biasa, serak dan lelah tapi tetap memesona.
Di halaman belakang, umi sibuk memasukkan
ayam ke kandang agar tak dimangsa Musang. Musang di kampungku ganas sekali,
ketika mulai gelap, mereka semua mulai mencari mangsa. Jangan harap ada ayam selamat
jika berkeliaran dalam gelap dan tak segera masuk kandang. Umi Nampak kelelahan
mengejar ayam-ayamnya yang montok, Umi mengeluh resah, ayam semakin liar, aku terkekeh,
umi marah.
“Gadoh
kakhem, sit ka kaeu lon meularat bak parohj ih, ken ka bantu,”[4]
umi mengomel sambil membetulkan kain sarungnya yang hampir melorot.
“Umi lucu”
“Peu
lucu, galak that ka eu lon sosah…”[5]
umi sensitive, cepat marah, tapi baik hati. Aku atur strategi, umi kusuruh mengusir
ayam ke arahku. Aku siap dengan jala ikan abu yang tersangkut di pohon belimbing.
Dalam sekejab, ayam-ayam gemuk yang bandel itu masuk ke dalam perangkapku. Aku gembira,
umi tersenyum tak marah lagi, tapi tak mau bilang terimakasih dan memuji aku anaknya
yang hebat. Ah! Umi.
Menjelang
magrib, aku bersiap berangkat ke dayah untuk sholat
berjama’ah dan sedikit mengkaji tafsir
sambil menunggu sholat isa. Dayah biasanya menjadi tempat kami anak muda mangkal pada malam hari.
Tapi kini keadaan sudah jauh berubah, dayah sepi. Hanya aku dan beberapa kawan
yang masih mangkal disini. Ada juga remaja perempuan, mereka duduk dibagian
belakang, mengkaji tafsir yang dipandu Teungku Adi. Sebenarnya, jiwa remajaku ingin sekali
menatap perempuan-perempuan cantik itu, tapi aku tak berani. Jangankan menatap,
melirik saja aku sudah gemetar, suara deheman
Teungku Adi membuat jantungku seakan
lepas.
“Padum droe nyeng trok Nu?”[6]
teungku Adi bertanya, setelah aku selesai mengabsen kawan-kawan.
“ Siploh, teungku”[7]
“Gata, padum Mala?”[8] kini giliran Mala yang mendapat pertanyaan, dia bertugas
mengabsen anak perempuan.
“Tujoh, Teungku. Dek Yah saket, hanjeut i
jak” [9]Mala
menjelaskan, tunduk. Aku terkesiap mendengar Dek Yah sakit. Aku suka senyum Dek
Yah, aku sering berdebar-debar, tapi aku tak pernah berani
menyapanya, takut dan gemetar rasanya. Mendengar namanya saja dadaku hangat,
dengan debar jantung yang berirama indah. Dek Yah, ibarat foto
berbingkai putih, bersih dan cantik.
Mendengar
jumlah muridnya yang datang, Teungku Adi menarik nafas kecewa. Dibuangnya pandang
sejauh-jauhnya, kosong. Tapi Teungku Adi berusaha menutup rasa kekecewaannya. Dia tetap
membimbing kami sebaik-baiknya, kami begitu takzim padanya. Dulu, ketika DOM
dayah ini ramai sekali. Karena orangtua ingin mengamankan anak laki-lakinya
disini dari kekejaman tentara yang buta. Setelah tsunami, dayah ini juga ramai,
mungkin semua sadar kematian begitu dekat dan
datang
dengan tiba-tiba. Semua mengaji, pada
hari Rabu dan Sabtu ibu-ibu berkumpul di dayah. Pada hari senin dan
jum’at giliran bapak-bapak berkumpul, mengaji, membaca kitab dan mengkaji
tafsir, atau sekedar mendengar tausiyah dari teungku muda ini. Kini, setelah
tahun-tahun sulit berlalu, kemudahan dan kemakmuran merapat, dan
dayah ini menjadi sepi. Seakan ditinggal penduduk dari kamp pengungsian, kembali pulang kerumah masing-masing.
Kawan,
kukatakan padamu. Kini kawan-kawan remajaku suka nongkrong di cafe yang ada di
kota. Mereka duduk membahas pertandingan bola atau hal yang tidak penting
lainnya, sambil minum kopi dan makan mie favorit kami. Mie enak yang berbumbu
lezat, di tambah kepiting bulat yang mengangkang di atas piring, kepiting yang
pernah membuat gigi seriku sompel. Di cafe-cafe itu biasanya ada layar lebar,
mereka bisa menonton siaran TV melalui layar lebar itu. Jika ditanya, aku juga
suka suasana kota, tapi Umi dan Nyakchik pasti akan membunuhku jika
meninggalkan dayah. Aku hidup dan tinggal ditengah-tengah orang yang ta’at.
Abu, jangan ditanya lagi. Lima waktu dia ke mesjid di samping dayah Teungku Adi, jika dia sedang tidak melaut.
Kampungku
kini jauh berubah. Gadis-gadis selepas magrib nonton sinetron yang tak pernah
ada habis-habisnya. Remaja lelaki melesat ke kota, mencari tempat nongkrong.
Tinggallah kami yang “kolot” mengaji di dayah, membuka kitab, membaca Alqur’an
yang agung dengan menyampirkan do’a keselamatan agar terhindar dali bala. Kini
remaja putra-putri kembali berani duduk berdua di tepi
laut, tak lagi takut dengan polisi syari’ah. Ada juga
yang sudah berani berpakaian modis dengan celana ketat. Teungku Adi selalu
mengingatkan agar remaja putri di dayah memakai rok, bukan celana panjang,
apalagi yang ketat.
Malam
mulai beranjak naik semakin tinggi, aku berjalan pulang dari dayah sendirian
dalam jalan kampung yang gelap. Di depan rumah Dek Yah aku tertegun, mataku
menatap sepasang bayangan duduk dibawah pohon mangga yang gelap. Suara
perempuan yang tertawa terkikik-kikik manja itu suara Dek Yah. Entah siapa
lelaki temannya bercakap aku tak tahu. Dadaku berdebar kencang, bukankah Mala
mengatakan bahwa Dek Yah sakit? Apakah perempuan yang kukagumi ini berbohong? Mengapa pula dia
duduk bergelap-gelapan? Seribu tanya menyesak di
dada, nafasku semakin memburu sambil berlalu, pura-pura
tak tahu.
Paginya kampung
gempar oleh berita Dek Yah yang ditangkap keuchik[10].
Informasi yang kudapat, lelaki yang bersamanya itu Mahdan. Lelaki kampung yang serampangan dan tak
pernah menginjak dayah. Lelaki besar cakap dan besar pula urat lehernya.
Mengapa Dek Yah
bisa terpesona padanya sehingga rela menghinakan diri sendiri?. Kepalaku
berdenyut-denyut karena terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab
membebaninya. Satu-satunya kelebihan Mahdan adalah fisik yang hebat. Dia tampan
dan selalu tampil rapi, walau kerjaannya hanya keliling kampung tebar pesona,
hidup dari harta kekayaan bapaknya.
Seminggu
setelah Dek Yah dinikahkan, kampung kembali gempar. Kabar beritanya, Dek Yah disiksa Mahdan, Dek Yah jadi korban KDRT. Mahdan memukuli istrinya dengan kejam
diiringi sumpah serapah yang memalukan. Badan Dek Yah babak belur, pipinya yang
putih lebam, matanya seperti kena tinju, biru tua. Tak habis-habisnya warga
kampung membahasnya, di dayah juga.
“
Nyan akibat inong hana harga”[11]
Tengku Adi memulai tausiahnya, teman-teman perempuan menunduk.
“Hana ridho Allah bak awak nyan, sebab bak
phon pieh ka dosa. Meunyo rumoh tangga ta bina ngen ridho Allah, Insyaallah
sakinah, mawaddah warahmah. Bek that teupeudaya ngon donya, shit donya hana
abeh-abeh. Maken ta let, maken jioh..”[12]
Teungku Adi menyeruput kopinya, kemudian melanjutkan
“ Agam yeung got geujok le Allah u inong
yang got, meunan chit seubalek jieh. Keuneuk meurumpok jodoh yeung got, ta
mulai bak droe keu droe teueh”[13]
Teungku
Adi benar, bahwa lelaki yang baik adalah untuk perempuan yang baik, begitu juga
sebaliknya. Jika ingin mendapat jodoh yang baik, mulailah dari diri sendiri
menjadi orang baik. Malam itu, kembali aku pulang menembus jalan kampung yang
gelap sendirian, melewati rumah Dek Yah yang gelap pula. Sayup-sayup kudengar
suara tangisan perempuan, aku merinding, apakah itu tangisan hantu? Kupasang
telinga dengan awas, suara itu dari dalam rumah, suara tangisan halus
perempuan, suara Dek Yah. Aku miris dan perih, kasihan perempuan cantik itu,
tak seharusnya dia menderita. Tapi apa mau dikata? Harga dirinya hanya sebatas
itu. Aku terus berjalan menuju rumah, dalam gerimis yang mulai jatuh aku
berdo’a, semoga Allah kelak memberiku jodoh yang baik.
Dek Yah, telah memilih jalan hidupnya,
hidup dalam bingkai yang kusam.
Medan,
Maret 11. Untuk semua perempuan hebat di dunia J
*Rahimah
Ib adalah anggota FAM Medan dan aktif mengajar di SMP Darussalam Medan.
[1]
Pondok kecil di sawah, biasa digunakan untuk beristirahat
[2]
Makanan khas Aceh, kue dari tepung pulut yang dibungkus daun pisang muda
[3]
Nenek
[4]
“ketawa saja kamu, sudah tahu saya susah ngusir ayam, bukannya dibantu”
[5]
Apa yang lucu, suka lihat saya susah
[6]
Berapa orang yang datang, Nu?
[7]
Sepuluh, Teungku
[8]
Kamu, berapa Mala?
[9] Tujuh,
Teungku. Dek Yah sakit, tidak bisa datang
[10]
Kepala kampung
[11]
Itu akibatnya perempuan tidak berharga
[12]
Allah tidak meridhoi mereka karena sudah diawali dengan perbuatan dosa. Jika rumah
tangga dibina dengan ridho Allah, Insya Allah sakinah, mawaddah warahmah.
Jangan terpedaya dengan dunia. Dunia tak ada habisnya, makin dikejar makin jauh
[13]
Lelaki yang baik untuk perempuan yang baik, demikian juga sebaliknya. Jika
ingin mendapatkan jodoh yang baik, mulailah dari diri sendiri.