Waktu bagiku ibarat benang kusut
yang harus kuurai dengan teliti satu persatu, helai perhelai, teliti dan sabar.
Benang kusut itu adalah awal tahun ajaran baru, aku harus meyelesaikan roster
pelajaran untuk 14 rombel, memastikannya tidak “bertabrakan”, roster fullday,
pembagian jam mapel, silabus rpp, buku, dll,dll. Aku menikmati seluruh
aktifitas itu, mengurai perlahan, sabar dan semua akan selesai tepat pada
waktunya. Ketika semua sudah lengang, aku akan menulis kembali secara
konvensional, menekan tuts keyboard si Cepi yang mungil. Secara konvensional?
Ya..karena jika tidak, aku akan terus menulis dalam ruang otak dan imajinasiku,
aku terus menulis dalam diam maupun sadarku, berlebihan memang. Baiklah, aku
akan bercerita tentang kisah gadis kecilku yang ternyata belum usai juga.
Malam
perlahan beranjak naik, awan pekat menyelimuti kota Medan, namun hujan tidak
turun, dingin. Dua travel bag sudah siaga di bagasi mobil, berikut segala macam
report keadaan kaki Bila ada di dalam tas, makanan kecil dan rendang kering.
Ya, aku akan membawa Bila ke Penang, Rumah Sakit Lam Wah Ee. Kami berangkat
berdua, pesawat pertama jam 5.10 wib. Karena ayah Bila ada acara di Singapore
dan Kuala Lumpur, maka ia akan menyusul kami ke Penang melalui jalur darat.
Bandara Kuala Namu yang cukup jauh dari rumah menjadi kendala. Untuk naik taksi
tengah malam, aku ciut. Membawa mobil dan parkir di bandara selama empat hari
juga rasanya tak berani. Maka, aku minta tolong adik untuk mengantar kami pada
jam 11 malam- tak tega jika minta ia mengantar jam 2 malam. Kami menembus
gelap, melewati perkotaan dan jalan lengang menuju bandara, kebun sawit tanpa
penerang jalan.
Bandara
sepi, hanya ada beberapa orang yang bernasib sama seperti kami, menunggu pagi
tidur di kursi-kursi panjang yang biasa dijadikan kursi tunggu. Aku coba
melakukan hal yang sama, tapi gagal. Bila sepertinya tidak tertarik, dia asyik
bermain game di ponsel. Wajahnya cerah, senyumnya tetap indah, dia tidak pernah
mengeluh- justru itu yang membuat hatiku hancur melihat langkah kakinya yang
tak sempurna. Jam 3.30 kami melakukan check in, membayar airport tax- 200 ribu
per orang, mencekik tenggorokan. Sebelum boarding pass, aku menyempatkan
membeli satu cup kopi dan menyeruputnya sampai habis. Bila tidak bisa minum
susu pagi hari- perutnya mulas- aku menyuruhnya makan biscuit kering dan minum
air putih. Tepat pukul 5.10 pesawat lepas landas, membelah langit gelap,
melewati laut, hanya 45 menit, kami mendarat di Bayan Lepas, Penang.
***
Pinpin
dan suaminya menyambutku dengan senyum paling manis- tentu saja, wajahku adalah
ringgit di matanya. Bisnis mereka maju pesat, menjemput tamu yang ingin
berobat, menyediakan jasa taxi dan kamar.
Dengan setia ia dan suaminya mengangkat dua travel bag yang kami bawa,
menanya ini itu, memberi tahu ini-itu. Aku diam saja, toh dia juga tahu ini
bukan kedatanganku yang pertama. Aku sudah tahu SOP ala Pinpin. Jangan begini,
jangan begitu, hati-hati, hindari ini-itu, dll. Standart SOP Luar negeri lah.
Setelah mengantar kami ke penginapan, menyimpan tas, kami mendapat kamar di
sebuah rumah di jalan Lengkok Batu Lancang, jalan yang sama dengan kedatanganku
yang lalu. Pinpin berbaik hati mengantar kami langsung ke rumah sakit dan
mengganti nomor ponselku. Itu memang harus dilakukan pertama kali, agar dapat
berkomunikasi dengan keluarga. Dan, Pinpin langsung menyimpan nomornya di
ponselku. “Yu kalau perlu apa-apa bilang Ua, ya? Hati-hati, passport Yu jaga
baik-baik, tas selempang saja,” aku mengangguk. Bahasa Pinpin sangat mudah
dicerna, Pinpin China Medan yang membuka usaha ini di Penang.
Langkah
pertama adalah aku mengambil nomor antrian, ada dua box kecil. Satu untuk nomor
antrian pasien lama dan satu lagi untuk pasien baru. Aku menekan tombol di
kotak pasien baru, dan duduk menunggu nomor dipanggil melalui monitor kecil
yang terpasang disetiap sudut pandangan. Setelah sebelumnya membeli sacangkir
cappuccino di mesin kopi sebelah belakang rumah sakit. Rumah sakit ini tidak
asing, karena sebagian besar pasien berasal dari Indonesia. Setelah nomor
antrian kami dipanggil, aku menuju meja pendaftaran. Menjawab semua pertanyaan
petugas India berwajah cantik tapi terkesan culas- tapi dia baik, tegas, tanpa
basa-basi, patah-patah. Pertanyaannya standart, nama, alamat di Indon, alamat
di Penang, ke dokter mana, keluhan apa, nomor passport, nomor telepon,
email. Jangan heran, kode pos alamat di
Indonesia tak boleh lupa. Klik! Kami mendapat petunjuk darinya agar konsul ke
dokter Tan Cheng Aun, spesialis ortophedic surgeon. Bukankah aku masih bingung?
Apakah Bila positif skoliosis atau ada sesuatu di sendi pangkal pahanya? Allah
lah yang tahu. Jadwal konsul masih 2 jam lagi, kami memilih tetap di rumah
sakit, menunggu. Jika kembali ke penginapan, aku tidak yakin bisa kembali tepat
waktu, mengingat mata yang terasa berat dan Bila yang mulai mengeluh ngantuk.
Jadilah kami pengamat amatiran, namun Bila terhibur karena jaringan wifi yang
berlari kencang., seperti kijang.
Pukul
setengah sebelas, giliran kami menemui dokter. Dr. tan menyambut dengan ramah,
perawakannya kecil, kulit putih, wajah cerah bercahaya, suaranya lembut, sangat
bersahabat. Hasil dialog yang sesekali diselingi bahasa Inggris, melayu dan
pada bagian tertentu diterjemahkan oleh perawat melayu, Dokter Tan paham maksud
dan tujuan kami. Seperti biasa, MRI harus dilakukan sebelum mengambil tindakan.
Dokter bertanya kapan kami pulang, aku menjawab dengan jujur. Karena daftar
antrian MRI sudah penuh, kami dianjurkan kembali besok pagi. Pukul sebelas kami
pulang ke jalan Lengkok Batu Lancang, berjarak sekitar 300 meter dari rumah
sakit. Sebelumnya, kami singgah dulu ke
Sun Supermarket, membeli beras dan air mineral.
Bla merengek minta jalan-jalan ke Queensbay – aku pernah bercerita tentang
keelokan pemandangan depan mall yang menghadap ke laut. Tapi aku keberatan
karena kondisi kakinya yang sakit. Setelah menanak nasi di rice cooker, aku
menunggu zuhur setelah itu kami ketiduran sampai petang. Aku terbangun ketika
ponsel berbunyi, ayah sudah sampai ke Lengkok Batu Lancang. Di pintu pagar ayah
berdiri, disaput langit jingga, matanya begitu lelah namun tetap hangat. Dari
pancaran cahaya itu aku tahu, kami akan menghadapi semua ini bersama, dibawah
lindungan Allah tentu saja.
***
Kami sekarang sudah bertiga,
terasa lebih ringan. Bila masuk ke ruangan MRI, sekitar dua jam. Aku dan
ayahnya menunggu di luar, cemas. Selesai, kami langsung diantar menuju ruangan
dokter. Eh…gambar hasil MRI langsung terkoneksi ke ruangan dokter, kami masuk
dan dia Nampak sedang mengamati hasil foto yang terpampang di monitor computer.
Dokter Tan memberi penjelasan, sederhananya adalah, ada cairan di tulang
selangkangan Bila dan harus dibuang. Dokter bilang itu operasi kecil, padahal
cuma disedot melalui suntikan. Bila harus tinggal di rumah sakit dan sore ini
langsung diambil tindakan.
Semua serba cepat, kami membayar
deposit sebesar 1800 ringgit- biasanya uang ini berlebih dan dikembalikan. Bila
langsung masuk ke ruang tindakan, punggung tangannya ditanam jarum suntik,
dibungkus kain kasa lembut dengan tebal. Bila tampak nyaman saja, tertawa-tawa
ditemani ayahnya yang terus berceloteh lucu- aku tak pernah berani menyaksikan
momen ini. Suntikan awal, Bila enjoy saja. Sama dengan suntikan-suntikan
keesokan harinya, langsung tiga kali, spuitnya besar-besar, Bila tak mengeluh
dan malah bilang “enak, Ma. Dingin..” haaa?? Padahal ketika 12 hari di rumah
sakit tanah air dia menjerit melihat jarum suntik. Penyedotan petang itu
berjalan lancar, kami menyaksikan cairan bening kuning- seperti minyak goreng-
dalam tiga tabung kecil. Dokter Tan menemui kami dan menjelaskan semua sudah
berjalan baik dan cairan akan diperiksa lebih lanjut di laboraturium, hasilnya
akan dikirin melaui email. Dua malam di
rumah sakit, kami sudah bisa pulang. Dokter bilang “Everything is oke” dan tak
perlu control. Bila, masih menuntut jalan-jalan, dasar anak-anak. Tak apa, kami
memilih naik rapid ke Komtar, beli coklat di Mydin dan souvenir di Penang Road.
Kami ditemani Cik Dah dan Abah- Cik Dah menikah dengan Abah yang berasal dari
Perak dan mereka sengaja ke Penang untuk menjenguk Bila.
Sore,
kami langsung bergegas ke Bandara. Jadwal pesawat ke KNIA pukul empat sore,
sementara ayah berangkat pukul sepuluh malam. Pesawat kami berbeda, ayah
mencari tiket yang paling murah- karena sebenarnya tiket pulangnya melalui
Kuala Lumpur. Sesuai perjanjian, kami akan menunggu beliau di Bandara Kuala
Namu dan pulang ke rumah bersama, naik damri. Kata ayah, tak usah dijemput
karena akan merepotkan orang lain. Ayah selalu begitu. Syukurlah, Bandara Kuala
Namu nyaman dan menyenangkan, banyak resto yang meyajikan makanan lezat.
Menunggu yang biasa membosankan jadi menunggu yang menyenangkan. I love my Town…