Kamis, 25 September 2014

EPISODE MENDUNG YANG PANJANG




                Waktu bagiku ibarat benang kusut yang harus kuurai dengan teliti satu persatu, helai perhelai, teliti dan sabar. Benang kusut itu adalah awal tahun ajaran baru, aku harus meyelesaikan roster pelajaran untuk 14 rombel, memastikannya tidak “bertabrakan”, roster fullday, pembagian jam mapel, silabus rpp, buku, dll,dll. Aku menikmati seluruh aktifitas itu, mengurai perlahan, sabar dan semua akan selesai tepat pada waktunya. Ketika semua sudah lengang, aku akan menulis kembali secara konvensional, menekan tuts keyboard si Cepi yang mungil. Secara konvensional? Ya..karena jika tidak, aku akan terus menulis dalam ruang otak dan imajinasiku, aku terus menulis dalam diam maupun sadarku, berlebihan memang. Baiklah, aku akan bercerita tentang kisah gadis kecilku yang ternyata belum usai juga.
Malam perlahan beranjak naik, awan pekat menyelimuti kota Medan, namun hujan tidak turun, dingin. Dua travel bag sudah siaga di bagasi mobil, berikut segala macam report keadaan kaki Bila ada di dalam tas, makanan kecil dan rendang kering. Ya, aku akan membawa Bila ke Penang, Rumah Sakit Lam Wah Ee. Kami berangkat berdua, pesawat pertama jam 5.10 wib. Karena ayah Bila ada acara di Singapore dan Kuala Lumpur, maka ia akan menyusul kami ke Penang melalui jalur darat. Bandara Kuala Namu yang cukup jauh dari rumah menjadi kendala. Untuk naik taksi tengah malam, aku ciut. Membawa mobil dan parkir di bandara selama empat hari juga rasanya tak berani. Maka, aku minta tolong adik untuk mengantar kami pada jam 11 malam- tak tega jika minta ia mengantar jam 2 malam. Kami menembus gelap, melewati perkotaan dan jalan lengang menuju bandara, kebun sawit tanpa penerang jalan.
Bandara sepi, hanya ada beberapa orang yang bernasib sama seperti kami, menunggu pagi tidur di kursi-kursi panjang yang biasa dijadikan kursi tunggu. Aku coba melakukan hal yang sama, tapi gagal. Bila sepertinya tidak tertarik, dia asyik bermain game di ponsel. Wajahnya cerah, senyumnya tetap indah, dia tidak pernah mengeluh- justru itu yang membuat hatiku hancur melihat langkah kakinya yang tak sempurna. Jam 3.30 kami melakukan check in, membayar airport tax- 200 ribu per orang, mencekik tenggorokan. Sebelum boarding pass, aku menyempatkan membeli satu cup kopi dan menyeruputnya sampai habis. Bila tidak bisa minum susu pagi hari- perutnya mulas- aku menyuruhnya makan biscuit kering dan minum air putih. Tepat pukul 5.10 pesawat lepas landas, membelah langit gelap, melewati laut, hanya 45 menit, kami mendarat di Bayan Lepas, Penang.
***
Pinpin dan suaminya menyambutku dengan senyum paling manis- tentu saja, wajahku adalah ringgit di matanya. Bisnis mereka maju pesat, menjemput tamu yang ingin berobat, menyediakan jasa taxi dan kamar.  Dengan setia ia dan suaminya mengangkat dua travel bag yang kami bawa, menanya ini itu, memberi tahu ini-itu. Aku diam saja, toh dia juga tahu ini bukan kedatanganku yang pertama. Aku sudah tahu SOP ala Pinpin. Jangan begini, jangan begitu, hati-hati, hindari ini-itu, dll. Standart SOP Luar negeri lah. Setelah mengantar kami ke penginapan, menyimpan tas, kami mendapat kamar di sebuah rumah di jalan Lengkok Batu Lancang, jalan yang sama dengan kedatanganku yang lalu. Pinpin berbaik hati mengantar kami langsung ke rumah sakit dan mengganti nomor ponselku. Itu memang harus dilakukan pertama kali, agar dapat berkomunikasi dengan keluarga. Dan, Pinpin langsung menyimpan nomornya di ponselku. “Yu kalau perlu apa-apa bilang Ua, ya? Hati-hati, passport Yu jaga baik-baik, tas selempang saja,” aku mengangguk. Bahasa Pinpin sangat mudah dicerna, Pinpin China Medan yang membuka usaha ini di Penang.
Langkah pertama adalah aku mengambil nomor antrian, ada dua box kecil. Satu untuk nomor antrian pasien lama dan satu lagi untuk pasien baru. Aku menekan tombol di kotak pasien baru, dan duduk menunggu nomor dipanggil melalui monitor kecil yang terpasang disetiap sudut pandangan.  Setelah sebelumnya membeli sacangkir cappuccino di mesin kopi sebelah belakang rumah sakit. Rumah sakit ini tidak asing, karena sebagian besar pasien berasal dari Indonesia. Setelah nomor antrian kami dipanggil, aku menuju meja pendaftaran. Menjawab semua pertanyaan petugas India berwajah cantik tapi terkesan culas- tapi dia baik, tegas, tanpa basa-basi, patah-patah. Pertanyaannya standart, nama, alamat di Indon, alamat di Penang, ke dokter mana, keluhan apa, nomor passport, nomor telepon, email.  Jangan heran, kode pos alamat di Indonesia tak boleh lupa. Klik! Kami mendapat petunjuk darinya agar konsul ke dokter Tan Cheng Aun, spesialis ortophedic surgeon. Bukankah aku masih bingung? Apakah Bila positif skoliosis atau ada sesuatu di sendi pangkal pahanya? Allah lah yang tahu. Jadwal konsul masih 2 jam lagi, kami memilih tetap di rumah sakit, menunggu. Jika kembali ke penginapan, aku tidak yakin bisa kembali tepat waktu, mengingat mata yang terasa berat dan Bila yang mulai mengeluh ngantuk. Jadilah kami pengamat amatiran, namun Bila terhibur karena jaringan wifi yang berlari kencang., seperti kijang.
Pukul setengah sebelas, giliran kami menemui dokter. Dr. tan menyambut dengan ramah, perawakannya kecil, kulit putih, wajah cerah bercahaya, suaranya lembut, sangat bersahabat. Hasil dialog yang sesekali diselingi bahasa Inggris, melayu dan pada bagian tertentu diterjemahkan oleh perawat melayu, Dokter Tan paham maksud dan tujuan kami. Seperti biasa, MRI harus dilakukan sebelum mengambil tindakan. Dokter bertanya kapan kami pulang, aku menjawab dengan jujur. Karena daftar antrian MRI sudah penuh, kami dianjurkan kembali besok pagi. Pukul sebelas kami pulang ke jalan Lengkok Batu Lancang, berjarak sekitar 300 meter dari rumah sakit.  Sebelumnya, kami singgah dulu ke Sun Supermarket,  membeli beras dan air mineral. Bla merengek minta jalan-jalan ke Queensbay – aku pernah bercerita tentang keelokan pemandangan depan mall yang menghadap ke laut. Tapi aku keberatan karena kondisi kakinya yang sakit. Setelah menanak nasi di rice cooker, aku menunggu zuhur setelah itu kami ketiduran sampai petang. Aku terbangun ketika ponsel berbunyi, ayah sudah sampai ke Lengkok Batu Lancang. Di pintu pagar ayah berdiri, disaput langit jingga, matanya begitu lelah namun tetap hangat. Dari pancaran cahaya itu aku tahu, kami akan menghadapi semua ini bersama, dibawah lindungan Allah tentu saja.
***
                Kami sekarang sudah bertiga, terasa lebih ringan. Bila masuk ke ruangan MRI, sekitar dua jam. Aku dan ayahnya menunggu di luar, cemas. Selesai, kami langsung diantar menuju ruangan dokter. Eh…gambar hasil MRI langsung terkoneksi ke ruangan dokter, kami masuk dan dia Nampak sedang mengamati hasil foto yang terpampang di monitor computer. Dokter Tan memberi penjelasan, sederhananya adalah, ada cairan di tulang selangkangan Bila dan harus dibuang. Dokter bilang itu operasi kecil, padahal cuma disedot melalui suntikan. Bila harus tinggal di rumah sakit dan sore ini langsung diambil tindakan.
                Semua serba cepat, kami membayar deposit sebesar 1800 ringgit- biasanya uang ini berlebih dan dikembalikan. Bila langsung masuk ke ruang tindakan, punggung tangannya ditanam jarum suntik, dibungkus kain kasa lembut dengan tebal. Bila tampak nyaman saja, tertawa-tawa ditemani ayahnya yang terus berceloteh lucu- aku tak pernah berani menyaksikan momen ini. Suntikan awal, Bila enjoy saja. Sama dengan suntikan-suntikan keesokan harinya, langsung tiga kali, spuitnya besar-besar, Bila tak mengeluh dan malah bilang “enak, Ma. Dingin..” haaa?? Padahal ketika 12 hari di rumah sakit tanah air dia menjerit melihat jarum suntik. Penyedotan petang itu berjalan lancar, kami menyaksikan cairan bening kuning- seperti minyak goreng- dalam tiga tabung kecil. Dokter Tan menemui kami dan menjelaskan semua sudah berjalan baik dan cairan akan diperiksa lebih lanjut di laboraturium, hasilnya akan dikirin melaui email. Dua  malam di rumah sakit, kami sudah bisa pulang. Dokter bilang “Everything is oke” dan tak perlu control. Bila, masih menuntut jalan-jalan, dasar anak-anak. Tak apa, kami memilih naik rapid ke Komtar, beli coklat di Mydin dan souvenir di Penang Road. Kami ditemani Cik Dah dan Abah- Cik Dah menikah dengan Abah yang berasal dari Perak dan mereka sengaja ke Penang untuk menjenguk Bila.
Sore, kami langsung bergegas ke Bandara. Jadwal pesawat ke KNIA pukul empat sore, sementara ayah berangkat pukul sepuluh malam. Pesawat kami berbeda, ayah mencari tiket yang paling murah- karena sebenarnya tiket pulangnya melalui Kuala Lumpur. Sesuai perjanjian, kami akan menunggu beliau di Bandara Kuala Namu dan pulang ke rumah bersama, naik damri. Kata ayah, tak usah dijemput karena akan merepotkan orang lain. Ayah selalu begitu. Syukurlah, Bandara Kuala Namu nyaman dan menyenangkan, banyak resto yang meyajikan makanan lezat. Menunggu yang biasa membosankan jadi menunggu yang menyenangkan. I love my Town…