Memang,
hari-hari yang kulalui berikutnya begitu panjang. Air mata terus mengalir, kusembunyikan
dari gadis kecilku agar hatinya tak resah. Banyangan kecacatan fisiknya
menghantui segenap pikiranku. Aku siap atas segala kemungkinan, tapi tentu saja
setelah segala upaya dilakukan. 1 Mei libur may
day, aku ingin segera membawanya ke Rumah sakit, tapi urung karena ia
menangis menolak “Bila enggak mau diinfus” keluhnya lemah. Jadilah hari itu kami
hanya di kamar bersamanya, menyaksikan air matanya yang mengalir ketika sakit
di pahanya datang, menyayat hati yang semakin perih. Ayah berkali-kali mengelus
pahanya, menghapus airmatanya dan terus mensupport
bahwa Bila pasti akan sembuh.
Jum’at
pagi, 2 Mei kami membawa Bila ke salah satu Rumah Sakit Swasta atas hasil
diskusi keluarga dan adik yang mengerti urusan medis. Di Rumah Sakit Bila
langsung ditangani Direktur, langsung diambil foto pelviksnya dan segalanya
serba cepat dan dipermudah. Hasil foto awal, tulang panggul Bila miring sehingga
kakinya berkesan panjang sebelah. Tapi tidak ada masalah tulang sama sekali,
dokter curiga pada otot. Kami sudah minta foto MRI, tapi tim dokter minta
ditunda dulu karena itu dianggap belum perlu. Beberapa kali Bila menjalani
pemeriksaan darah, semua hasilnya bagus. Dokter bergerak pada kecurigaan yang
lain, TBC tulang, tapi hasil mantuk juga negative. Kemudian, diagnose yang lain
transient synovitys. Dokter tim yang
menangani Bila terus berdiskusi, dokter tulang, dokter syaraf (2 orang), dokter
fisioterapi dan dokter anak.
Sementara
itu, Bila terus menangis menahan sakit di pahanya. Dia tertidur pulas namun
tiba-tiba berteriak “Allahu akbar! Sakit
Ma! Sakit Mama!” aku tak pernah bisa tidur nyenyak, ditambah lagi aku harus
menjalankan tugas dalam pelaksanaan UN siswaku. Ayahnya juga harus berangkat
menjalankan tugas ke Bandung selama tiga hari sementara beberapa perjalanan
sudah dibatalkan. Atas anjuran dokter Bila menjalani terapi otot, Bila disorong
dengan tempat tidur dari lantai tiga ke lantai satu, aku dan ayahnya
mendampingi. Segala macam alat
ditempelkan ke pahanya, menimbulkan reaksi panas. Tiga kali terapi tak ada
reaksi malah semakin sakit. Terapi keempat Bila menangis menyerah, dan adikku-
karena aku tugas, Bila dijaga Cicik (om) nya- harus menanda tangani surat
pernyataan menolak terapi. Hasil diagnose akhir, di paha Bila ada syaraf yang “nyelip”.
Hari
kesembilan di Rumah sakit, keluarga kembali diskusi langkah apa yang harus
dilakukan untuk kesembuhan Bila. Bila masih melakukan BAK dengan pispot karena
kaki kirinya tak bisa berfungsi dengan baik karena setiap bergerak timbul rasa
sakit yang luar biasa. Ayahnya cenderung ingin membawa Bila ke Penang, maka
segera diurus passport secara online
agar prosesnya cepat dan jadwal foto yang bisa disesuaikan. Tapi sementara
menunggu proses selesai, adikku menganjurkan agar Bila berobat alternative saja
dulu. Maka kami memanggil seorang ahli pengobatan alternative ke rumah sakit
untuk melihat kondisi Bila. Dan memang ia menganjurkan sebaiknya Bila dibawa
pulang dan menjalani pengobatan alternative saja.
Maka,
hari ke sepuluh kami memutuskan keluar dari rumah sakit setelah minta izin dengan tim dokter
secara baik-baik. Kami mengucapkan banyak terimakasih atas segala pelayanan
yang baik, perhatian dan segala dukungannya. Kami mengatakan bahwa Bila akan kami
bawa ke Penang dan tim dokter setuju “Ya, semoga di sana nanti semua tuntas”
ujar salah satu dokter. Hari itu juga, Bila kami bawa ke pinggiran kota Medan
untuk menjalani pengobatan. Dan…hari-hari berikutnya masih terasa amat panjang,
sepanjang jalan yang penuh harapan…