Kamis, 29 Mei 2014

EPISODE MENDUNG GADISKU (2)




            Memang, hari-hari yang kulalui berikutnya begitu panjang. Air mata terus mengalir, kusembunyikan dari gadis kecilku agar hatinya tak resah. Banyangan kecacatan fisiknya menghantui segenap pikiranku. Aku siap atas segala kemungkinan, tapi tentu saja setelah segala upaya dilakukan. 1 Mei libur may day, aku ingin segera membawanya ke Rumah sakit, tapi urung karena ia menangis menolak “Bila enggak mau diinfus” keluhnya lemah. Jadilah hari itu kami hanya di kamar bersamanya, menyaksikan air matanya yang mengalir ketika sakit di pahanya datang, menyayat hati yang semakin perih. Ayah berkali-kali mengelus pahanya, menghapus airmatanya dan terus mensupport bahwa Bila pasti akan sembuh.
            Jum’at pagi, 2 Mei kami membawa Bila ke salah satu Rumah Sakit Swasta atas hasil diskusi keluarga dan adik yang mengerti urusan medis. Di Rumah Sakit Bila langsung ditangani Direktur, langsung diambil foto pelviksnya dan segalanya serba cepat dan dipermudah. Hasil foto awal, tulang panggul Bila miring sehingga kakinya berkesan panjang sebelah. Tapi tidak ada masalah tulang sama sekali, dokter curiga pada otot. Kami sudah minta foto MRI, tapi tim dokter minta ditunda dulu karena itu dianggap belum perlu. Beberapa kali Bila menjalani pemeriksaan darah, semua hasilnya bagus. Dokter bergerak pada kecurigaan yang lain, TBC tulang, tapi hasil mantuk juga negative. Kemudian, diagnose yang lain transient synovitys. Dokter tim yang menangani Bila terus berdiskusi, dokter tulang, dokter syaraf (2 orang), dokter fisioterapi dan dokter anak.
            Sementara itu, Bila terus menangis menahan sakit di pahanya. Dia tertidur pulas namun tiba-tiba berteriak “Allahu akbar! Sakit Ma! Sakit Mama!” aku tak pernah bisa tidur nyenyak, ditambah lagi aku harus menjalankan tugas dalam pelaksanaan UN siswaku. Ayahnya juga harus berangkat menjalankan tugas ke Bandung selama tiga hari sementara beberapa perjalanan sudah dibatalkan. Atas anjuran dokter Bila menjalani terapi otot, Bila disorong dengan tempat tidur dari lantai tiga ke lantai satu, aku dan ayahnya mendampingi.  Segala macam alat ditempelkan ke pahanya, menimbulkan reaksi panas. Tiga kali terapi tak ada reaksi malah semakin sakit. Terapi keempat Bila menangis menyerah, dan adikku- karena aku tugas, Bila dijaga Cicik (om) nya- harus menanda tangani surat pernyataan menolak terapi. Hasil diagnose akhir, di paha Bila ada syaraf yang “nyelip”.
            Hari kesembilan di Rumah sakit, keluarga kembali diskusi langkah apa yang harus dilakukan untuk kesembuhan Bila. Bila masih melakukan BAK dengan pispot karena kaki kirinya tak bisa berfungsi dengan baik karena setiap bergerak timbul rasa sakit yang luar biasa. Ayahnya cenderung ingin membawa Bila ke Penang, maka segera diurus passport secara online agar prosesnya cepat dan jadwal foto yang bisa disesuaikan. Tapi sementara menunggu proses selesai, adikku menganjurkan agar Bila berobat alternative saja dulu. Maka kami memanggil seorang ahli pengobatan alternative ke rumah sakit untuk melihat kondisi Bila. Dan memang ia menganjurkan sebaiknya Bila dibawa pulang dan menjalani pengobatan alternative saja.
            Maka, hari ke sepuluh kami memutuskan keluar dari rumah  sakit setelah minta izin dengan tim dokter secara baik-baik. Kami mengucapkan banyak terimakasih atas segala pelayanan yang baik, perhatian dan segala dukungannya. Kami mengatakan bahwa Bila akan kami bawa ke Penang dan tim dokter setuju “Ya, semoga di sana nanti semua tuntas” ujar salah satu dokter. Hari itu juga, Bila kami bawa ke pinggiran kota Medan untuk menjalani pengobatan. Dan…hari-hari berikutnya masih terasa amat panjang, sepanjang jalan yang penuh harapan…

Kamis, 15 Mei 2014

EPISODE MENDUNG GADISKU (1)




                Minggu yang cerah, Family day is coming…seperti biasa, kami bersih-bersih rumah, masak bersama anak-anak dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Tapi, minggu ini banyak sekali undangan walimah. Jika sudah begitu, berarti waktu banyak habis di luar. Baiklah, silaturrahmi harus tetap jalan namun kebersamaan dengan anak-anak juga tak boleh hilang, maka mereka semua diajak menghadiri undangan. Tapi, si sulung- Kak Za punya alasan untuk tidak ikut, begitu pula dengan dua keponakanku Iyan dan Uni. Karena mereka juga harus menyelesaikan tugas sekolah dan kuliah yang cukup banyak, maka ikutlah Syifa, Bila dan Wafi.
                Hmm…seperti kebiasaan Bila, si nomor tiga. Jika bepergian, ia tak pernah bisa memilih pakaiannya sendiri, aku harus selalu turun tangan, padahal baju tinggal ambil di lemari.
“Mama…Bila pake baju apa?” wajahnya menyembul dari pintu kamarku, wajah putih yang mungil. Ia baru sembuh dari sakit demam dan sempat dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Tapi hari ini wajahnya sudah segar, ia juga sudah lincah bergerak, wajahnya cerah. Menurut dokter, Bila demam biasa – karena hasil tes darah semua menunjukkan hasil yang baik.
“Bila cari sendiri aja, ya? Yang penting cocok buat dipake untuk pesta,” aku mencoba mengajarkannya mandiri dan pede dengan pilihannya sendiri. Tapi, gadis kecilku menekuk wajahnya.
“Mama aja yang pilihin, Bila enggak tau…” wadduh..suara halusnya membuatku takluk. Maka, aku langsung turun tangan memilih gaun untuknya. Karena ia sudah beranjak remaja, banyak pakaiannya yang sudah tidak muat dipakai. Aku memilih sebuah gaun dari tumpukan daganganku, gamis hitam sifon dengan taburan payet di dada. Untuk jilbab, aku memilih jilbab paris merah polos yang aku ikat membentuk turban. Gadis kecilku tampil cantik, ia memang sedang beranjak remaja. Kakak-kakaknya terpesona, kaget melihat adiknya yang sudah beranjak remaja. Uni –kakak sepupunya malah bekerjab-kerjab lucu.
Perjalanan menghadiri walimah yang menyenangkan. Silaturrahmi berjalan dengan lancar. Menghadiri pernikahan Diana Zahar dan  Aida, dua sahabat baikku. Karena jarak lokasi yang berjauhan, kami sampai di rumah sudah menjelang magrib. Dan malamnya kami sudah sibuk dengan persiapan esok, menyiapkan segala keperluan tugas dan sekolah mereka. Esok, yang tak pernah aku lupakan seumur hidup, senin yang suram L
***
Senin malam, Bila mengeluh kakinya sakit sehabis olahraga di sekolah. Kami menanggapinya dengan santai, kakaknya tertawa. “Itu sakit biasa, toh Bila udah lama enggak olahraga, “ kata Kak Liza santai. “Adduuh…Bila lebay, sakit dikit nangis, nanti juga sembuh. Itu sakit biasa, namanya juga Olahraga,” kata Kak Syifa. “Enggak apa-apa, Kak. Lawan aja sakitnya..” kata Wafi. “Iya Bila, itu sakitnya enggak apa-apa, kok” kata Kak Uni. Tapi, wajah Bila meringis menahan sakit. Esoknya, ia kembali sekolah seperti biasa. Pertengahan jam belajar, ia menemuiku di kantor dengan wajah pucat.
“Mama…Bila enggak tahan, kaki Bila sakit,”
“Oke, istirahat aja ya? Nanti kalo enggak sakit lagi, Bila masuk,” Bila kuantar ke ruang UKS untuk beristirahat. Malamnya Bila demam, suhu tubuhnya meninggi dan aku memberinya obat penurun panas. Paginya, Kak Liza mengantarnya ke tukang kusuk langganan, mungkin Bila keseleo pada waktu Olahraga. Tapi malamnya dia kembali mengerang kesakitan. Kata Mami, mungkin dia terkena “bahal”, ada gumpalan kecil di balik kulit selangkangannya. Maka, aku pun membuat ramuan untuk ditapalkan di tempat yang sakit. Tapi semua tidak bereaksi, dan gadisku masih terus menangis menahan sakit yang menyelimuti selangkangan dan pahanya. Malam rabu, Ayah mengajak makan di luar karena Ayah lulus sidang tesisnya. Bila tetap tidak dapat menikmati, aku memapahnya yang berjalan pincang, entah mengapa, kaki kirinya berat sekali.
Rabu sore (30 April 2014), sepulang kerja, aku menghampiri gadisku yang berbaring di kamar. Rencananya, malam ini keluarga besar akan berkumpul dan makan malam di luar. Besoknya, 1 Mei Kak Liza berulang tahun, Ayah lulus S2 dan Bunda (adikku) juga lulus seleksi S2 di PTN bergengsi. Semua sudah direncanakan dengan matang. Pikirku, kondisi Bila tentu bukan masalah yang serius dan bukan pula penghalang kami untuk bersenang-senang. Dia juga dapat menikmati kebersamaan dalam keluarga dan agar lebih bersemangat. Aku juga mempersiapkannya untuk bersih-bersih di kamar mandi.
“Sayang, coba jalannya biasa aja. Kalo kakak pincangin, takutnya pincang beneran lho..” aku masih mensugestinya.
“Enggak bisa, Mamaaa…” mata gadisku memerah.
“Bisa, sayaaang..tahan aja sakitnya, jangan diikutin cara jalan yang salah..” aku sedikit memaksa.
“Enggak bisa, Mamaaaaaa… kaki Bila panjang sebelah!” mata itu mulai basah, gadisku menangis keras. Aku serasa disambar petir, jantungku mulai bekerja lebih cepat, aku menahan diri, mencoba menahan diri.
“Coba Bila tegak…” kuperhatikan kedua kaki anakku, yang satu jinjit dan satu lagi menyentuh lantai.
“Coba Bila tidur,” jantungku semakin cepat. Bila berbaring, kuluruskan kedua kakinya. Kulihat tumitnya, yang kiri lebih panjang, tungkainya juga. Cepat-cepat aku meraih handphone dan berlari turun meninggalkan kamar. Tangisku pecah, jantungku berpacu dengan sangat cepat, aku kalap. Ketelepon ayahnya yang sedang menjemput Wafi les sempoa. Kak Liza menenangkanku, ia memang sudah semakin dewasa.
“Mama jangan nangis, nanti dilihat sama Bila dia juga jadi stress. Bila enggak apa-apa kok, itu perasaan Mama aja,” si sulung memelukku, menepuk-nepuk bahuku menenangkan.
“Tapi, Mama lihat kakinya panjang sebelah Kaaak…” Tangisku semakin keras.
Dan…setelah ini, hari-hari semakin panjang. Berjuang dengan airmata dan do’a, demi gadisku yang beranjak remaja. Gadisku yang halus budi bahasanya, selalu memeluk dan menciumku tanpa bosan dan risih meski aku sedang berkeringat. Gadisku yang selalu berterimakasih meski aku hanya memberinya sebuah permen.