Sabtu, 19 April 2014

GADIS BERSARUNG




            Pagi masih berselimut kabut. Daun-daun mangga dan anggrek masih basah berembun. Udara pagi menggigit dingin.  Aku masih tepekur di sudut  halaman rumah, jongkok di bawah pohon jambu, merapatkan jaket. Kuperhatikan rumah di sebelah utara, rumah bercat hijau lumut bersih. Halaman yang banyak ditumbuhi bunga-bunga, berpagar tanaman alam nan asri. Rumah itu, rumah yang menarik perhatianku selama seminggu ini. Rumah yang selama ini sama saja dengan rumah yang ada di komplek tempat aku tinggal. Rumah itu kini sangat  berbeda, atau tepatnya penghuni yang sangat berbeda.
            Yang kutunggu akhirnya muncul juga, pemandangan unik yang selalu aku tunggu seminggu ini, setiap pagi. Seorang gadis sibuk menyiram bunga dengan selang air. Tidak berapa lama kemudian muncul gadis lainnya dengan sapu lidi, menyapu daun-daun melati yang gugur di atas rumput jepang yang rapat seperti beledru. Selang beberapa menit berikutnya muncul lagi seorang gadis; perkiraanku masih duduk di bangku SMP. Suara canda mereka benar-benar mampu memecah  pagi yang hening. Sesekali terdengar suara ibunya agar mereka jangan terlalu membuat keributan, tak enak pada tetangga. Tapi, entahlah aku suka melihat mereka, kompak, lucu dan penampilan yang tak biasa. Pemandangan aneh yang selalu kulihat seminggu pagi ini adalah tak lain dan tak bukan, ketiga gadis cantik itu memakai kain sarung. Kain yang biasa aku gunakan untuk solat berjama’ah di masjid komplek. Mengapa hari gini masih ada gadis kota bersarung?
            “Ferza!” aku terkejut mendengar suara mama yang agaknya sibuk mencariku yang sudah menghilang dari kamar. Belum sempat aku menjawab, mama sudah ada di sampingku, berkacak pinggang dan melotot!
            “Ya, Allah! Ngapain kamu di sini? Enggak sekolah?” belum aku menjawab, pandangan mama sudah menuju ke arah halaman rumah gadis itu.
            “Merhatiin anak Tante Husna?” syukur, mama tak marah. Mama tersenyum kecil, bibirnya dimonyongkan beberapa senti.
            Hehehe, naksir yang mana nih?” mama menggoda, pipiku terasa panas, mungkin memerah.
            “Enggak ah, Ma! Ferza siap-siap, ya!” aku berlari masuk rumah, mama menyusul sambil tertawa.
            “Yang mana, nih! Biar mama comblangin!” ya Allah, nih mama buat malu aja, rutukku dalam hati. Aku kelas tiga SMA, tapi sangat pemalu, apalagi sama perempuan, hii...aku takut!
Aku masuk kamar mandi dengan perasaan tak menentu, aku tidak menyukai mereka seperti yang dikatakan mama, tapi mereka itu sangat unik. Mereka, tiga orang gadis bersarung.
            Aku masih memanaskan motorku, pemandangan rutin itu muncul lagi dari depan pintu pagar. Tiga gadis bersarung berubah total menjadi tiga gadis yang sangat cantik dan modis. Seorang diantara mereka; mungkin si sulung mahasiswa karena berpakaian bebas, menyetir mobil jazz silver. Dua adiknya berseragam SMA dan SMP ikut bersamanya. Sebelum berangkat, kehebohan kembali terjadi. Mereka akan berebut menyalami ibunya dan mencium bergantian, memeluk beramai-ramai. Mereka akan tertawa bersama-sama, melambai ke arah ibunya sampai mobil bergerak tak kurang dari seratus meter. Aku, sangat menyukai pemandangan ini. Ah! Aku tak punya saudara perempuan.
            ***
            Sudah hampir satu bulan lamanya aku menjalani rutinitas jongkok di bawah pohon jambu memerhatikan tiga gadis cantik yang unik. Mama semakin heran dan mulai mengajakku bertandang ke rumah Tante Husna, terang saja aku menolak. Mengapa harus bertandang tanpa sebab? Ihh...kan malu.
            “Ferza, penyakitmu itu sudah akut. Kalo masih gitu juga nanti Mama bawa ke psikolog!” wadduh, mama mulai mengancam.
            “Aku enggak stres kok, Ma. Enggak juga depresi apalagi gila.”  Aku nyengir kambing sambil menggigit roti.
            “Trus, ngapain juga kamu nongkrong tiap pagi di bawah pohon jambu merhatiin mereka? Kamu aneh, tau!” mama mulai sengit.
            “Mereka itu unik, Ma. Mana ada gadis hari gini bersarung? Trus mereka sangat kompak, bahagia, sayang sama ibunya tuh, sweeeett banget,” aku mulai alay.
            “Trus? Kamu enggak bahagia, gitu?”
            “Aduuh...Mama princess yang cantik, aku bahagia Mama sayang. Tapi aku kesepian seorang diri, enggak punya saudara perempuan. Mas Tegar malah kuliahnya jauh banget, aku kan sedih..hiks,” aku bertambah lebay. Tapi, warna wajah mama berubah suram dan aku mulai menyesal.
            “Tapi masih untung kok aku punya mama princess, hehehe,” aku semakin alay. Tapi mungkin itulah cara membuat mama bahagia. Mama menjitak jidatku sayang, sambil tertawa memamerkan sudut gigi serinya yang sompel, tapi suer! Mama masih sangat cantik.
            “Kamu antar ini ke rumah Tante Husna, ya?” mama menyerahkan sekotak brownis kukus yang masih hangat dan harum. Aku serasa tak berjejak ke tanah, papa yang asyik membaca koran nyengir, ah!
            “Wadduh, Mama! Ini namanya pemerkosaan hak asasi,” aku mulai asal nyablak, mama melotot.
            “Kamu kalo ngomong enggak pake kamus ya, Za?” papa mulai ikut campur.
            “Aduuh, Pa! Yang lain aja deh, disuruh cuci mobil, cuci WC, nyiram bunga, Ferza enggak nolak kok,” senyum papa semakin lebar.
            “Ayolah...nanti brownisnya dingin, enggak enak lagi. Demi mama princess ya? Pliisss..” mama mulai memelas, alaaahhh...ini ilmu mama yang paling mujarab dan membuat aku selalu mengiyakannya. Berat hati aku menerima kotak itu dan harus mengantarnya ke rumah depan. Apakah gadis bersarung ada di rumah?
            Rumah itu sepi, tak ada tanda ada orang di rumah, padahal ini hari minggu. Aku mulai ragu melangkah, tapi aku harus menyampaikan amanah mama, sekotak brownis hangat. Perlahan, kutekan bel, terdengar suara denting beberapa kali. Huff...ada suara langkah menuju pintu.
            “Assalamu’alaikum...”
            “Wa’alaikum salaaamm....” suara dari dalam, tepat di balik pintu.
            “Lho? Ah...Tante kira tamu jauh, rupanya kamu. Ada apa, nih?” aku tersenyum dan menarik nafas lega. Bersyukur karena Tante Husna yang membukakan pintu.
            “Ini, Tante. Titipan Mama, masih hangat, fresh from the oven, Hehehe..” kucoba bercanda walau terdengar garing. Itu kan brownis kukus, kenapa pula kukatakan dari oven?
            “Adduuhh...makasih banyak. Oya, kamu tunggu bentar, ya? Tante juga buat sup buah, lebih enak dari yang dijual di cafe, ntar ya?” aku belum menjawab, Tante Husna sudah menghilang ke ruang belakang. Aku duduk di teras sambil menunggu. Aku lega tidak berhadapan dengan ketiga gadis bersarung itu. Namun...sesungguhnya hatiku bertanya-tanya penasaran, kemana mereka? Ma’af, aku sedikit tidak berlaku sopan, karena apa? Karena aku mengintip ruang tamu, taman samping, garasi sampai beberapa kali.
***
            Pagi yang hujan, dingin menggigit tulang. Waktu yang paling nyaman meringkuk di balik selimut, memeluk guling. Tapi ini adalah hari yang penting buatku, aku harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ada pertandingan seleksi daerah untuk pertandingan nasional karate di Bali nanti. Bali? Ah...siapa yang tidak ingin ke sana? Gratis pula. Hmmm..itu adalah target, aku harus lulus seleksi daerah, menuju Bali dan aku harus pulang membawa medali emas untuk daerah tercinta.
            Ready to be a winner?”        papa  menyambutku di meja makan, masih berkain sarung, tersenyum.
            “Ya, do’akan ya, Pa?” aku meneguk segelas jus yang dicampur madu, buatan mama.
            “Persiapan kamu, gimana?”
            “Insya Allah, semaksimal mungkin, Pa
            “Peta kekuatan lawan?” papa menatapku serius, aku menarik nafas panjang.
            “Lawan harus  dibayangkan selalu lebih hebat, lebih kuat dan lebih segalanya,”
            “Bagus, artinya..kamu tidak boleh menyepelekan lawan,” papa tersenyum, mengucek-ngucek rambutku.
            Pagi masih hujan, tak ada matahari dan aku tak pula jongkok di bawah pohon jambu untuk memerhatikan tiga gadis bersarung. Aku benar-benar fokus pada pertandingan pagi ini. Karena cuaca yang buruk, aku diantar papa ke gelanggang tempat biasa aku latihan karate. Tempat itu pula yang digunakan hari ini untuk pertandingan seleksi. Baju karate putih dan sabuk hitamku sudah di dalam tas sejak malam tadi. Karena diantar papa, aku memutuskan memakai baju kebanggaanku itu dari rumah.
            Gelanggang sudah ramai, banyak orang yang tidak aku kenal. Aku segera menjumpai pelatih dan teman-teman satu tim. Simpai Ayi menyambutku setelah aku memberi hormat dengan mengucapkan “osh”.
            “Kamu, Ferza...masuk di pertandingan kedua. Lawan pertamamu Yudha, kamu ingat Yudha? Anggota Dojo Mifta? Ingat kan?” Simpay Ayi berkata tegas dengan matanya yang tajam.
            Osh!..ingat Simpai,” kujawab tak kalah tegas, Simpay Ayi mengangguk. Yudha itu atlit yang tangguh, aku pernah kalah dengannya pada pertandingan yang lalu, tapi apakah aku harus takut? No! Pantang takut dan pantang menyerah, tapi harus tetap rendah hati, itu adalah janji karate.
Its show time, pertandingan demi pertandingan berlalu hingga giliranku tiba. Yudha berperawakan tidak terlalu tinggi, tapi ia nampak kekar dan tangguh. Kulit wajahnya  bening, pandangannya tajam, wajahnya tegang tanpa ekspresi. Setelah membungkuk hormat, Yudha menyerang duluan. Aku menerima tendangan dan membalas dengan pukulan. Mempelajari gerakan Yudha, aku memutuskan menggunakan Goju-ryu. Paduan gerakan yang kurasa sangat efektif dengan pernapasan yang kuat. Pertandingan demi pertandingan aku menangkan, tiket ke Bali sudah di tangan. Tapi, perasaanku tak enak. Salah satu gadis bersarung itu ada di barisan atlit putri, ah.. ketika aku dipanggil ke panggung menerima medali dia juga dipanggil untuk kategori putri, medali emas.
             “Kamu atlit karate juga, ya?” gadis bersarung itu menghampiriku, setelah turun dari tribun dan mengulurkan tangannya. Aku sambut, sedikit gemetar. Aku kan sudah katakan, aku takut sama perempuan, entah mengapa, super lebay.. aku mengangguk dan tiba-tiba berani menjawab.
            “Ya…gitu deh. Aku malah enggak nyangka, kamu juga atlit karate,”
            “Kenapa? Karena aku suka memakai sarung? Hahahaha…” tawanya lepas, gigi putihnya Nampak rapi berderet-deret. Aku menelan ludah, cemas.
            “Kamu kan suka mengamati kami setiap pagi, unik kan?” senyum itu menggoda, dia seusiaku dan berani sekali. Wajahku memanas dan tak bisa menjawab, kakiku mendadak gemetar. Aku ingin lari saja, malu tak kepalang tanggung. Gila!
            See you tomorrow morning, bye….” Ia berlalu sambil tersenyum lagi, kakiku masih   terpacak di ubin dingin. Tomorrow morning? Keningku mengkerut.
            “Jangan di bawah pohon jambu, banyak nyamuk! Kamu bantuin kita aja nyiram bunga!” senyum itu semakin lebar. Aku merasa dunia runtuh, alamaaaakkk…malunya! Satu rombongan pula nanti berangkat ke Bali. Aiiihh… ada koper? Ada koper? Buat nyimpan mukaku? Hiks


Rabu, 09 April 2014

PEMILU, SUDAH CERDAS KAH KITA?




                Pemilu 2014 baru saja tadi digelar. Entah mengapa, aku merasa gaungnya tak semegah dulu. Gaungnya kini tidak lagi merdu, ibarat sebuah pesta, ini pesta kecil-kecilan saja, dengan 500 undangan yang dicetak ala kadar dan makanan hanya ada 4 macam. Pesta cepat selesai, kursi cepat disusun, tikar cepat digulung dan lampu cepat dimatikan. Apakah itu hanya perasaanku saja? Atau kamu juga merasakan hal yang sama? Entahlah. Aku merasa, rakyat sudah lelah dengan polah tingkah wakilnya yang duduk di kursi dewan kehormatan. Kursi empuk kulit coklat dengan sandaran tinggi. Kursi yang membuat para wakil rakyat mengantuk dan tertidur ketika rapat paripurna berlangsung. Sebegitu megah dan mewah kursi yang ingin diduduki sehingga berbagai cara dilakukan, agar ‘ma’af’ bokong dapat dicecahkan.
                Kelelahan melihat polah tingkah wakil rakyat membuat masyarakat apatis. Siapa lagi yang dipercaya? Yang maling dan yang alim saja sudah sama, siapa lagi yang amanah? Atau sebegitu parahkah lingkungan dewan yang mampu menutup mata orang baik-baik menjadi orang bauk-bauk? Hiks….
Ada beberapa kasus yang saya saksikan secara pribadi, sangat menyimpang dari amanat rakyat. Saudara dari keluarga kami, dari salah satu partai yang duduk di dewan kehormatan. Semula, ia adalah seorang yang ‘lurus’, santun, jujur dan ramah tamah. Tapi tiba-tiba ia mampu mengguncang dunia, ketika dimobilnya didapati narkoba dan seorang wanita yang bukan istrinya. Dunia runtuh! Kehormatan keluarga tercoreng, kehormatan partai dilindas, kehormatan dewan dibabat habis! Keluarga mencecar pertanyaan- siapa tahu ini adalah jebakan yang bermuatan politis. Tapi ia menjawab dengan berurai air mata “ma’afkan saya, saya khilaf”, astaghfirullah
                Hari ini, setelah mencoblos saya tanpa sengaja mendengar dialog dua orang di warung bakso. Dialog yang membuat hati saya ngilu dan pilu, lutut saya lemas membayangkan betapa sedihnya para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Ada hubungannya kan?
A: “Kamu tadi milih yang mana?”
B: “Yang ngasinya gede lah (menyeringai empat senti, dua giginya mencuat keluar) Kalau kamu?”
A: “Sebenarnya aku mau pilih si D, tapi dia pelit kali, enggak kasi apa-apa, jadi aku milih si E, lumayanlah  dia ngasi 20 ribu”.    Nah? Lho? Haaaa?...huuuaaa….siapa yang salah, hayyo!
Ironi, bukan? Kemudian meluncurlah dari mulut mereka debat politik kelas bawah. Intinya, “toh nanti jika ia terpilih ia enggak akan ingat kita. Jadi, mending ambil hasilnya sekarang walau sedikit”.
                Kawan, apakah kita harus apatis? Jangan! Apakah kita harus golput? Jangan! Jika kita apatis dan memilih golput, bagaimana nasib bangsa ini? Bagaimana dengan generasi kita yang akan mendiami dan tinggal di negeri ini? Dan..kita juga jangan asal memilih, siapa yang ngasi sesuatu dia yang akan anda pilih. Ingat! Ketika ia sudah memberi berarti ia juga harus segera mengganti dana yang sudah ia keluarkan sebagai dana taktisnya untuk mendapat kursi. Naaahh.. itulah salah satu factor penyebab munculnya koruptor di negeri kita, paham? Lho? Jika dia sudah mengeluarkan dana banyak buat “nyogok”, maka ia harus segera mencari gantinya untuk menutupi dana tadi. Maka, muncullah mark up, proyek abu-abu, komisi, penyusunan RAB yang tidak logis, dll, dll. Jadi... jika anda memilih caleg yang memberi anda uang atau benda, artinya anda sudah membuka peluang korupsi di negeri ini, gitu loohh… serem kan? Money politic = Koruptor. Ayo! Cepat istighfar… hehehe
                Baiklah, kawan. Mari  kita berdo’a, siapapun yang akan menduduki gedung agung Dewan Perwakilan Rakyat, semoga bangsa ini menjadi lebih baik. Kesenjangan menurun, kemakmuran rakyat tercapai. Semoga anak-anak bangsa mendapat pendidikan yang baik, kesehatan yang baik dan pembentukan karakter  yang baik. Semoga Indonesia semakin jaya, disegani dunia Internasional. Semoga pemimpin kita konsisten, tegas dan tak ada yang mampu mengobok-obok Indonesia tercinta, merdeka! Salam, tetap semangat ya? Saya mengutip perkataan Ali Bin Abi Thalib RA: “Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Tapi karena DIAMNYA ORANG BAIK”. Bagaimana pendapat anda? Setujukah?