"Bunda,
mengapa aku tidak cantik?" Sasha menatap wajah bunda yang teduh.
"Masa,
sih? kamu tidak cantik?" Bunda kembali bertanya, kaget mendapati anaknya
yang galau.
"Iya,
semua bilang aku tuh jelek, enggak kayak Bunda. Bunda putih, mancung,
tinggi.." bibir gadis kecil itu melengkung, cemberut.
"Yang
ngomong gitu siapa?"
"Semua
teman-temanku, Bun. Lina, Putri, Rifa, Kasya..Denni juga ikut-ikutan,"
bibir itu semakin melengkung, matanya mulai basah, menangis. Perempuan lembut
yang dipanggil bunda itu mengelus kepala putrinya, kepala yang dihiasi rambut
keriting.
"Sayang...,
Bunda dulu juga tidak cantik, Bunda sangat jelek dan sering diolok-olok
teman," mendengar itu, mata mendung gadis kecil itu membulat.
"Oya?
kok bisa Bun? ah..Bunda bohong. Trus biar cantik Bunda luluran ya? ke salon?
gimana Bun? ajarin doooong..," suara gadis kecil begitu bersemangat, ah!
Bunda pasti akan membagi resep cantiknya, hmm..
"Tau
enggak? Bunda tuh, baru cantik selama sebelas tahun ini,"
"Haa?
ah, Bunda bohong...emang Bunda operasi plastik?"
"Husss..jangan
ngaco ah, kamu ada aja. Mau Bunda kasi tau?"
"Mauuuuu....mau,
cepet Bun! nanti aku praktekin,"
"Oke,
dengar baik-baik ya?" gadis kecil itu membetulkan posisi duduknya, seakan
siap mendengar satu cerita penting yang akan mengubah hidupnya.
"Bunda,
dulu juga jelek, karena tak sepenuhnya wudhuk membasuh wajah Bunda. Shalat
Bunda masih bolong-bolong, jadi cahaya wajah Bunda kusam dan buram. Dulu, Bunda
juga tidak mengenakan jilbab, kulit Bunda terbuka dan terkena sengatan debu dan
matahari, maka kulit bunda dulu juga hitam dan kusam.” Bunda menarik nafas
panjang dan melanjutkan.
“Nah, setelah menikah dengan Ayah, Bunda
menjadi perempuan yang cantik. Shalat Bunda tak lagi bolong-bolong sehingga
cahaya wudhuk terpancar. Bunda juga menutup aurat sehingga kulit bunda
terlindungi, jadi...Bunda sekarang putih bersih, hehe..gimana? udah tau resep
cantiknya?" singkat saja petuah bunda, mata gadis kecil itu berbinar
senang.
"Segitu
aja, Bun?" suaranya begitu gembira.
"Ada
lagi, mau dengar?"
"Mau..mau
banget, Bun!"
"Perempuan
cantik itu bukan dari wajahnya, tapi dari hatinya. Itu namanya aura,"
"Maksudnya?"
mata si gadis kecil menyipit.
"Hati
tidak boleh menyimpan iri, dengki, dendam. Kita harus mau mema'afkan, berkata
jujur, lemah lembut, trus...jangan suka marah-marah, ya?"
"Ah..Bunda,
tapi teman-teman terus mengejekku,"
"Sasha
sayang...kalau kamu membalasnya dengan senyum, kamu pasti akan menjadi cantik,
mereka akan diam dan kagum padamu. Karena marah dan dendam akan menghalagi
kecantikan, bagaimana?" Perempuan yang halus lembut itu menjentik hidung
anaknya. Sasha, anaknya yang berumur sepuluh tahun tersenyum cerah. Besok, dia
akan menjadi perempuan yang cantik.
Benar saja, tidak harus menunggu esok. Sore itu juga
Sasha melaksanakan ashar yang biasanya lolos karena les privat. Begitu juga
maghrib, selepas sholat membaca Al Qur'an bersamanya. Seterusnya Isya sebelum
tidur, subuh selepas bangun tidur. Ayahnya bertanya heran "Bunda apain tuh, Sasha? biasanya sholat
disuruh-suruh. Sekarang kok rela banget," Bunda tersenyum dan bercerita
tentang kegelisahan gadis kecilnya, ayah tersenyum. "Syukurlah, berarti
Bunda menjadi perempuan cantik setelah menikah, sukses buat Ayah,"
hahay..si Ayah memuji diri sendiri. Tapi tak apalah, karena itu adanya. Siang,
kebahagian memancar dari segala penjuru rumah. Senyum si gadis kecil menjelma
menjadi cantik. Dia belum baligh, tapi cahaya iman sudah memancar dari segala
sudut wajah dan hatinya.
"Assalamu'alaikum, anak Bunda yang cantik...,"
sapaan hangat setiap pagi untuk bidadari yang cantik.
*untuk anakku yang cantik