Rabu, 20 Juni 2012

CERPEN, LARA DALAM HUJAN

LARA DALAM HUJAN * Rahimah Ib Langit pekat, angin berdesir-desir melewati gedung tinggi di perkotaan, menyusup dari bingkai jendela. Biasanya, sebentar lagi akan turun hujan, mengguyur bumi tanpa perasaan. Aku duduk di depan jendela kamar, menanti hujan dengan harapan yang membuncah memayungi jiwa yang hampa. Aku suka hujan, sangat suka. Hujan, membawa kesejukan dan aroma yang dalam. Hujan, tak pernah mampu memudarkan semangatku dalam hal apapun. Dan hujan, gemuruhnya mampu menyembunyikan tangisan pilu hatiku yang meratap menyayat. “Nina.!!, sebentar lagi hujan! Angkat jemuran, cepat!,” Suara Ibu, mengetuk pintu kamarku dan membuyarkan konsentrasiku menanti hujan. Aku beranjak, menyeret kakiku yang tak normal, membuka pintu. “Cepat!, jangan terus melamun! ” cahaya mata Ibu menusukku, aku tunduk. Berlalu menuju halaman belakang rumah, menunaikan perintah Ibu. Terkadang aku merasa ibu sangat tidak adil terhadapku, sangat nyata ia tak menyukaiku. Ketika Ibu pergi arisan atau belanja, aku tak pernah menyertainya karena tak pernah di ajak sama sekali. Yang menjadi anak favoritnya adalah Siska, adikku. Kurasa, semua kasih sayang dan fasilitas tumpah ke Siska. Sementara aku diperlakukan sebelah mata, seakan tidak punya hak istimewa. Aku yakin sekali dengan perkiraanku sendiri, aku adalah gadis yang tak bisa membanggakannya. Aku cacat, kaki dan tangan sebelah kiriku kecil, tidak dalam ukuran normal. Kaki dan tangan kiriku lemah, jika berjalan aku harus menyeretnya karena tak kuat melangkah. Satu-satunya penghiburku adalah membaca, dan menulis apapun yang ada dalam pikiran dan perasaan. Berjilid-jilid buku sudah kutulis, entah apa saja isinya aku juga sudah lupa. Semakin lama, semakin aku mahir menulis walau aku tak yakin dengan kwalitas tulisanku sendiri. Yang aku harapkan hanya aku dapat membagi dukaku pada kertas kosong, kutulis dengan penaku. Mencurahkan isi hati agar terasa lapang dan lega, itu saja. Seperti hari ini, Siska belum pulang karena mengikuti Les piano. Aku sudah dirumah dari tadi, karena aku tidak didaftarkan ibu les apapun. Siska? Daftar lesnya sangat padat, mulai Bahasa Inggris, Bimbel sampai les piano. Karena kegiatannya banyak, Siska jarang dirumah. Otomatis akulah yang membantu ibu untuk urusan rumah. Mulai menyapu, mengepel lantai, mencuci piring sampai masak. Tentu saja aku mengerjakannya dengan lamban, karena kondisiku yang tidak sempurna. Ibu sering marah sampai terkadang mengucapkan kata-kata yang pedih, aku diam, menangis sendirian, menanti hujan. Berharap, hujan dapat menenggelamkan dukaku, isakku, raungku. Kini, hujan itu turun, air serasa tumpah dari langit, aku belum selesai mengangkat pakaian yang dijemur dan telah mengering pula. Ibu berteriak di beranda belakang, berharap aku dapat melangkah dengan cepat, sayang pada pakaian kering yang kupeluk kuat. Apalah daya, aku tak kuat, kakiku amatlah lemah. Kuseret sekuatnya, tapi aku tak bisa, aku basah oleh hujan, pakaian kering yang kuangkat dengan susah payah juga basah oleh hujan. Aku menangis dalam hati, airmataku bercampur hujan namun tak ada isak. “Kok lama ha? Itulah jadinya, pakaian kering jadi basah lagi..! ” Ibu menyambutku dengan marah, matanya merah, seperti biasa, aku tunduk saja. Aku tak pernah menjawab, tak berani, padahal hatiku sudah meraung-raung pilu. “Kamu harus jemur pakaian itu di garasi, cepaat…!,” Ibu berteriak lagi. Dia nyaris tak pernah berkata lembut padaku. Bencikah Ibu padaku? Pada keadaanku yang tak sempurna? Benci pada kaki dan tangan kiriku yang lemah? Benci padaku yang lamban?. Aku tak pernah bisa menjawab itu semua, semua kutumpahkan saja dalam tulisan, biarlah. Malam ini, hujan kembali menenggelamkan isakku. Siska sudah tidur diranjangnya. Dia juga tak pernah peduli padaku, itu karena kesibukannya yang luar biasa. Dia mudah tertidur karena kelelahan menuntut ilmu, sedangkan aku tidur karena kelelahan menangis, atau lelah karena tugas rumah yang mengakibatkan tulang kakiku berdenyut-denyut. Tak ada yang perduli sama sekali. Ayah juga terlalu sibuk. ***** “ Dia demam, panasnya tinggi sekali “ lamat-lamat kudengar suara Ayah, tangannya yang kekar meraba keningku, aku menggigil, tak mampu bergerak. “ Pasti karena kena hujan kemarin sore, dia sih…lamban sekali “ Ibu bersuara, kesal. “ Kamu terlalu memaksakannya Bu, dia memang tak bisa cepat, masa kamu paksa? “ Ayah menyela, mencoba membelaku. “ Kita harus membawanya kedokter, sekarang…” “ Dikasi Parasetamol aja Yah, pagi gini mana ada dokter praktek “ Siska menimpali. “ Kita bawa ke Oom Bayu, panasnya tinggi sekali, Ayah khawatir ” Semua suara itu kudengar sayup-sayup, aku kedinginan luar biasa. Gerak tubuhku tak dapat kukontrol, gigiku gemeretuk. Tulang tungkai kaki kiriku berdenyut luar biasa, serasa menjalar sampai ke ubun-ubun, mataku panas dan berair. Siska menyelimuti tubuhku dengan selimut tebal, tak berpengaruh, tetap saja aku menggigil. Seingatku, aku tak pernah merasakan sakit seperti ini. Jikapun demam, tidak sampai menggigil. Jikapun tulang tungkai kaki kiriku berdenyut, sakitnya tidak sedahsyat ini. Aku setengah sadar, suara Siska berteriak panik ditelingaku terasa amat jauh, suara Ibu dan Ayah juga terdengar samar, suara itu memanggil namaku silih berganti, ramai sekali, semua sayup dan hilang. *** Ruangan itu berwarna pink, dihiasi langit-langit putih yang bersih. Jelas, ini bukan kamarku. Aku melirik kekiri, selang infus menggantung, dihubungkan keurat lengan kiriku. Ya, aku ada di kamar rumah sakit. Ayah, Ibu dan Siska mengelilingiku, mata mereka nampak cemas, aku menangis. “ Kenapa sayang? “ Ayah membelai kepalaku. Aku sedih sekali, walau aku terlahir cacat, aku tak pernah merasakan tinggal dikamar sebuah rumah sakit. “ Nina kenapa, Yah?. Kenapa harus diinfus? “ “ Enggak apa-apa, panasnya tinggi sekali, kamu harus dibantu dengan cairan infus “ Ibu menimpali, suaranya lembut, aku semakin ingin menangis. Suara Ibu yang selalu kuharapkan, kurindukan dan selalu kuimpikan. “ Siska enggak sekolah?, “ kulirik adikku yang duduk di kelas tiga esempe. Siska menggeleng, mengusap matanya yang merah. “ Ini hari Minggu, Kak...” Aku terpana, tercekat dalam kebingungan. Seingatku, aku mengangkat kain dari jemuran dan terkena hujan hari Kamis sore. Kemudian Jum’at pagi aku demam dan tak sadarkan diri. Hari ini Minggu, artinya......aku pingsan lebih dari dua puluh empat jam!, ya Allah.. “ Nina sakit apa, Yah? “ air mataku mengalir bagai anak sungai, aku sudah bisa merasakan sesuatu yang tidak beres dengan diriku. Ibu dan Siska menangis, Siska menelungkupkan wajah dikakiku yang tertutup selimut. Ibu menangis, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ayah, bibirnya gemetar menahan sesuatu, aku semakin cemas. “ Katakan, Yah.....Nina enggak apa-apa kok, Nina kuat “ kucoba menguatkan diri, walau jantungku berdebar. “ Nina kuat? “ “ Kuat, Yah....sangat kuat “ kuyakinkan Ayah. “ Jangan putus asa ya?, “ aku mengangguk. “ Nina, kena kanker tulang Nak... tapi bisa sembuh kok, masih stadium satu. Kita berobat ya? Ayah akan usahakan kemana saja....” bibir Ayah bergetar, matanya merah. Aku tercekik, tak bisa berkata apa-apa. Ternyata, ini jawaban atas kesakitanku selama ini. Tungkai kiri yang sering berdenyut dan sakitnya minta ampun. Sakit yang tak pernah kuceritakan pada siapapun. Sakit yang hanya kutenggelamkan bersama hujan. Sakit yang tak pernah diketahui Siska walau kami satu kamar. Kamar rumah sakit itu kini penuh dengan tangis. Ibu dan Siska memelukku dengan kuat, Ibu hampir meraung-raung. Ternyata, mereka semua mnyintaiku. Tapi kenapa baru sekarang? Ketika aku semakin mendekati waktuku?. Aku ragu pada Ayah, kankerku tidak pada stadium satu, mungkin saja sudah stadium empat. “ Boleh Nina minta sesuatu, Yah? “ “ Apa, sayang? “ “ Tolong pinjamlan Nina Laptop Ayah, ya? “ “ Untuk apa? “ “ Nina akan menulis, menulis semua yang Nina rasakan selama ini. Kalaupun waktu Nina habis, ada yang Nina tinggalkan. Jadi kenangan, “ air mataku berderai, betapa singkat waktuku, usiaku baru tujuh belas tahun, saat indah masa remaja, tapi tak pernah kurasa bahagia. “ Ma’af sayang.... ma’afkan Ibu, nak....” Ibu memelukku, pelukan hangat yang nyaris tak pernah kurasakan. Biarlah, kini sakitku kuanggap saja sebagai hikmah. Jika memang harus begini mereka menyayangiku. Tapi kini aku tahu, bahwa mereka sangat menyintaiku. * Telah dimuat di Koran Digital Koran_Cyber.com

Senin, 04 Juni 2012

MARI, KITA GUNAKAN INTERNET POSITIF

MARI, KITA GUNAKAN INTERNET SECARA POSITIF Internet? Aha…every body love it!. Hari gini? Tanpa internet? Basi deeeh…. Tapi apakah semua bisa mengambil kesempatan baik yang diberi oleh teknologi hebat ini? Tentu saja tidak. Ada yang hanya main game hingga candu, sampai tidur terbayang-bayang pada game yang dimainkan, sampai terbawa mimpi segala, sampai hilang konsentrasi belajar atau kerja. Ada yang memanfaatkan internet untuk hal-hal ‘nakal’, melihat sesuatu yang tidak semestinya. Internet yang berkembang pesat sejak tahun 1981-1989 sudah menjadi kebutuhan hidup masyarakat modern. Masyarakat dari berbagai golongan memanfaatkan internet, pelajar, mahasiswa, pekerja sampai anak-anak dan ibu rumah tangga. Semua terasa mudah, mbah atau oom google menjelma jadi sosok yang serba tahu. Jadi, kalau cari sesuatu Tanya saja pada mbah atau oom google. Pencet keyboard, Tanya pada si Mbah, langsung muncul sreeet…sreeet… semua terjawab, mudah bukan?. Aku, termasuk manusia yang baru mengenal internet. Sebelumnya, ada sedikit pikiran miring tentang internet, maklum…masih awam. Ditambah lagi tidak ada jaringan internet di rumah, masa ibu-ibu harus ke warnet? Ah…malu dooong. Dua tahun lalu, kantor pasang wifi. Mulailah aku menjelajah, disela-sela kerja tentu saja. Memanfaatkan waktu sebaik-baiknya karena aku suka menulis. Timbul pertanyaan dalam hati, “Mengapa aku tidak memanfa’atkan hobiku? Sekaligus mencari sahabat-sahabat yang punya hobi sama?”. Aku mulai dengan Face book tentu saja. Mencari nama-nama penulis untuk menjadi sahabat, tapi ternyata penulis-penulis hebat itu sudah tak dapat lagi mengconfirm diriku untuk menjadi sahabat di dunia maya karena temannya sudah memenuhi kapasitas. Jadilah aku berteman dengan siswa-siswaku yang SMP, yang selalu buat status “unyu-unyu”, hahahaha…dasar anak-anak, kunikmati saja sambil tersenyum dan ‘marah’. Ternyata, semua beriring dengan waktu. Tak ada pencapaian datang dalam hitungan detik atau menit. Pada awal tahun dua ribu sebelas aku membuat blog sendiri, http://blogsbunda.blogspot.com yang isinya tentang aku dan tentu saja tulisan-tulisanku. Seiring waktu juga aku bertemu di dunia maya dengan Muhammmad Subhan salah seorang penulis dari Padang dan Aliya Nurlela penulis dari kota Kediri (baca Surat Terbuka Untuk Aliya Nurlela Sang Purnama Dalam Gelap). Akhirnya, aku dapat menemukan duniaku. Dunia yang membuat aku selalu bahagia, menekan tuts computer dengan berdebar-debar, beradu cepat dengan ide di kepala yang melesat layak meteor, duhai…senangnya berselancar dalam kata., merangkai cerita hingga menghasilkan makna. Tentu saja, aku melakukannya dengan hati dan sepenuh cinta. Dulu, ketika masih kuliah, aku merasakan kesulitan ekonomi karena aku lahir dari keluarga kurang mampu. Aku berjuang agar bisa belajar, jangan heran jika aku pernah minum air keran di kamar wudhu’ masjid kampus karena kehabisan bekal. Berjualan bandrek dengan gerobak malam hari karena bapak sakit. Aku dan mak menyorong gerobak sejauh dua kilometer tempat bapak biasa mangkal, karena kami tak bisa mengayuhnya. Aku tak pernah duduk di kantin kampus seperti anak-anak lain yang menghabiskan waktu sambil diskusi dan makan. Tempat favoritku adalah musalla dan masjid, karena aku nongkrong di situ tanpa harus mengeluarkan modal. Jika ada uang, aku manfaatkan untuk membeli buku. Kesulitan, kepayahan, kepedihan, jeritan. Itulah yang mendorong aku untuk menulis. Bukankah aku seorang wanita yang punya keterbatasan? Aku tak bisa mencari tambahan uang dengan bekerja kasar sepulang kuliah. Aku menulis, meminjam mesin ketik tetangga. Setiap hari mukanya masam, jika sudah begitu aku segera kembalikan mesin ketik miliknya. Aku menulis dengan tangan, berlembar-lembar folio. Kemudian, tanpa punya rasa malu aku pinjam lagi mesin ketik tetangga, begitu seterusnya. Aku bersusah payah berjalan ke kantor redaksi mengantar tulisanku, berharap dimuat. Dengan perjuangan, tulisanku sering dimuat di Koran local. Honornya aku ambil jika sudah terkumpul lumayan, bisa untuk membeli keperluan pribadi sehingga tidak merepotkan orangtuaku. Alhamdulillah, karena kerja keras aku juga mendapatkan beasiswa Supersemar dari kampus. Sering menjadi mahasiswa pilihan untuk mengikuti kegiatan di luar daerah. Sehingga aku pernah menginjak kota-kota besar di Indonesia sampai Makassar dan Bulukumba. Kini, semua sudah aku lewati. Kesedihan, kepedihan, perjuangan yang dahsyat untuk pencapaian masa depan. Kini aku hidup cukup, dalam arti tidak berlebihan. Bisa memberi tempat yang layak dan nyaman untuk keluarga. Dapat bekerja sambil mengontrol perkembangan mereka. Bisa pergi kerja tanpa diterpa panas dan hujan. Dianugerahkan Allah suami yang mendukung setiap langkahku. Bagaimana aku bisa melangkah sejauh ini tanpa ada dukungannya?. Dia yang rela aku abaikan jika sedang menulis, padahal ia sama sekali tak suka sastra. Jika aku Tanya pendapatnya, dia selalu mengatakan “mama hebat” padahal aku tahu dia tak selesai membaca tulisanku, hahaha… Ah…ma’af, aku melantur ya?. Ceritanya merembet kemana-mana, ma’af kawan. Back to topic ya?. Pertemuan dengan Aliya Nurlela di dunia maya mengantarkan aku ke FAM , Forum Aktif Menulis Indonesia. Sekali lagi kukatakan, aku memang sedang mencari komunitas yang mampu membuatku terus bersemangat menulis. Kini, aku terus menulis dengan sepenuh hati dan cinta, karena aku sudah merasakan candunya sampai ke ubun-ubun. Tidak seperti dulu yang menulis mengharapkan honor, kini aku menulis karena aku bahagia menulis. Urusan uang? Itu adalah rahasia dari Allah, insyaallah rezeki akan datang jika semua dilakukan dengan keikhlasan. “Barang siapa yang memudahkan urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusannya” setuju?. Alhamdulillah, kini aku diberi amanah oleh FAM Indonesia untuk menjadi calon ketua cabang Medan. Aku kadang merasa lucu sendiri, mengapa harus Rahimah Ib? bukankah banyak penulis hebat di Medan?. Aku akan jawab sendiri ya? Karena hanya Rahimah Ib penulis yang bergabung di FAM Indonesia! (atau Cuma perasaan saja ya?) Hahaha...! tapi tak apalah. Semoga aku bisa memikul tanggung jawab ini, aku ingin banyak orang bisa menulis karena suka membaca. Prihatin juga melihat siswa yang bingung menulis, padahal hanya disuruh membuat narasi ringkas biodatanya saja, bingung saya. Jadi, untuk semua sahabat, handau taulan, saudara sebangsa dan setanah air. Mari kita gunakan internet untuk hal-hal positif. Mari kita mengekspresikan diri dengan menulis santun dan mampu menebar kebaikan untuk sekitar. Bukankah kita sudah diberi Allah banyak kemudahan?. Menekan tuts computer adalah pekerjaan ringan dibandingkan menekan tuts di mesin ketik yang ‘kletak…kletok…’ bukankah mengirim tulisan juga lebih mudah dengan email, dari pada mengirimnya melalui kantor pos atau seperti yang saya lakukan dulu, jalan kaki ke kantor redaksi?. Bagi teman, rekan, handai tolan, sodara sebangsa dan setanah air mari bergabung di FAM Indonesia, wadah penulis Islam dengan prinsip dakwah bil qalam. Untuk bergabung disini tidak harus penulis hebat, tapi kita sama-sama belajar di FAM Indonesia untuk menjadi penulis hebat. So…yok! Sama-sama kita manfaatkan internet secara positif. Bersama FAM Indonesia tentu saja, salam aishiteru

Minggu, 03 Juni 2012

SURAT TERBUKA UNTUK ALIYA NURLELA SANG PURNAMA DALAM GELAP Sahabat, pagi cerah bersaput awan yang berarak memayungi langit kotaku. Seperti biasa, aku selalu bersemangat ketika berangkat kerja, utk mencerdaskan anak bangsa. Ketika aku tidak masuk kelas, aku akan bekerja menatap computer diselingi berselancar di dunia maya. Tahukah kau sahabatku? Mataku terpaku pada status Muhammad Subhan (Ketua Umum FAM) yang menyatakan tentang buku yang kau tulis “Insyaallah 100% sembuh”. Dadaku gemuruh bertanya, siapa perempuan hebat yang menulis buku ini?. Tanpa buang waktu, saat itu juga aku meng- add mu. Aku tak pernah menyangka jika engkau langsung mengkonfirmasinya. Aku pikir engkau sama seperti orang hebat yang lain, lelah untuk berteman. Tapi engkau tidak, aku meminta nomor teleponmu engkau beri dengan ringan saja, tanpa khawatir seperti orang hebat yang lain bila diminta nomor handphone-nya, takut terganggu. Sahabat, setelah itu persahabatan kita mengalir layaknya air sungai di kaki gunung, sejuk. Setiap hari aku merindukan senyum tulus di depan kain merah menyala itu. Aku merindukan kata-kata penyejuk yang terus engkau sebarkan layaknya gerimis yang tak mengenal musim. Aku juga merindukan suara beratmu yang bersahaja, tegas dan mempesona (belakangan aku tahu dari tulisanmu “Motivasi Seorang Kakak” bahwa engkau adalah vokalis dan pemain teater, pantas saja suaramu berkarakter kuat). Aliya sahabatku, kau mengajak aku untuk bersama di FAM. Pada saat aku terus berenang di dunia maya untuk mencari komunitas yang dapat membantuku bangun dari keputus asaan mendapatkan tulisanku yang tak jua berkembang. Aku tak pernah meragukanmu, aku sangat yakin itu. Yakin pada perjuangan pribadimu menghadapi tubuh sendiri, berjuang mempertahankan bayi mungilmu agar tetap bisa hidup dan besar berrsamamu dengan segala resikonya (belakangan aku juga tahu dari tulisanmu yang engkau posting di grup kita, FAM). Sahabat, tak semua perempuan mampu seperti itu, mungkin termasuk juga aku. Sahabatku, bukankah keyakinanku itu terbukti?. FAM baru berdiri selama tiga bulan. Tetapi gaungnya mampu menembus gunung, membahana di angkasa, menyusup ke relung-relung jiwa. Sahabat, percayalah, walau kita jauh tapi engkau selalu terasa dekat. Engkau adalah sahabat paling tulus yang mau berbagi yang pernah aku jumpai. Kau bergerak demi komunitas kita tanpa pamrih. Aku terharu membaca postingmu yang menceritakan betapa engkau bermandi keringat demi FAM, dan keringatmu tak pernah dibayar oleh siapapun dalam bentuk rupiah (hanya Allah yang akan membalas semua). Kau seperti cahaya rembulan yang pernah menyambut kehadiranmu di dunia, mampu menerangi kegelapan. Seperti engkau telah membawaku kedalam cahaya terang bersama FAM Indonesia. Andai kita dekat, aku akan memelukmu. Menyuntik energy positif dan vitamin untuk terus membangun semangat yang tak pernah padam. Kita akan bersama berjuang, bersama berkeringat, bersama menangis, bersama tertawa, bersama terus berbagi untuk sahabat FAM Indonesia. Tapi, jarak bukanlah menjadi penghalang bukan?. Walau kita jauh, tapi aku selalu merasa dekat, engkau mampu hadir dalam keseharianku, mampu membuatku terus bersemangat untuk mencapai apa yang aku cita-citakan. Aliya sahabatku, surat ini tulus aku haturkan untukmu. Bukan karena aku ingin menang dalam lomba yang sedang digelar. Karena sahabat FAM kita sangat hebat, semua punya kata yang indah untukmu. Aku tulus, karena Allah. Ah…sudahlah, aku sudah cukup menulis, mataku mulai basah, teman kantor mulai bertanya apa yang aku tulis sehingga aku begitu terharu. Nanti, aku akan menceritakan pada mereka, tentangmu tentu saja. Salam dari sahabatmu yang jauh Rahimah Ib FAM Medan, ID FAM 101U